Alih-alih menguntungkan, penghapusan ketentuan strict liability hanya akan menyulitkan masyarakat yang mengalami kerugian atas rusaknya lingkungan oleh korporasi untuk meminta pertanggungjawaban dan ganti rugi atas kerusakan yang terjadi pada lingkungan hidup dan tempat tinggalnya. Korporasi akan lepas tanpa dapat dimintai pertanggungjawaban karena dia bukan manusia yang dapat dinilai kesengajaan maupun kelalaiannya.
Meskipun tetap ada frasa “bertanggungjawab mutlak” dalam perubahan Pasal 88, penghapusan frasa “tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan “ atau strict liability tetap merupakan kemunduran karena akan menyulitkan dalam hal memintai pertanggungjawaban karena dengan hilangnya frasa tersebut maka harus dibuktikan unsur-unsur kesalahan yang mana tidak bisa dibuktikan karena korporasi bukan manusia.
Ini merupakan perubahan minor dalam hal frasa ketentuan Undang-Undang namun potensi kerugian materiil maupun imateriil masyarakat terkait dengan perubahan ini sangatlah besar. Untuk itu, ketentuan ini perlu dikawal sambil berharap di masa depan ketentuan strict liability bagi korporasi perusak lingkungan dapat dihadirkan kembali demi keselamatan masyarakat.
Baca juga:
- Hak Kekayaan Intelektual dan Pembangunan Berkelanjutan
- Relevansi Penetapan Pajak Karbon Terhadap Pencemaran Udara di Indonesia
- Kerangka Kerja Regulasi Penanganan Limbah Medis COVID-19
- Tantangan Pengelolaan Limbah Medis COVID-19
- Polemik Pembatasan Ekspor CPO dalam RED II, Petaka bagi Sawit Indonesia?
- Penghapusan Strict Liability untuk Menjerat Penjahat Lingkungan Itu Berbahaya
- Pasal 93 UU PPLH Pada UU Cipta Kerja: Pembungkaman Partisipasi Publik atas Lingkungan Hidup?
- Gagasan Sterilisasi Wilayah Ekoregion dari Cakupan Wilayah Pertambangan
- Lingkungan Hidup dalam Pusaran Omnibus Law RUU Cipta Kerja
- Permasalahan Sampah dan Upaya Penanganannya oleh Pemerintah Daerah Bali