Aktivitas bisnis dan industri menghasilkan dampak positif dan negatif. Kegiatan produksi dari semua sektor usaha berpotensi menghasilkan banyak gas yang dilepaskan ke udara terbuka. Gas-gas tersebut bertanggung jawab terhadap pemanasan global dan perubahan iklim, sering disebut dengan efek gas rumah kaca.
Gas rumah kaca utama ialah karbondioksida (CO2), metana (CH4), dan dinitrogen oksida (N2O). Gas rumah kaca dengan kandungan yang minim tetapi sangat kuat adalah hidrofluorokarbon (HFC), perfluorokarbon (PFC), dan sulfur heksafluorida (SF6).
Pembatasan aktivitas sosial masyarakat dunia selama pandemi COVID-19 terbukti ampuh menekan emisi karbon. Konsekuensinya, terdapat urgensi untuk mempertahankan penurunan emisi karbon pasca pandemi. Momen kebangkitan ekonomi setelah pandemi ini dinilai tepat dengan menerapkan kebijakan green economy sebagai pemulihan laju perekonomian sekaligus mempertahankan penurunan emisi global.
Berdasarkan Paris Agreement yang diratifikasi dengan UU Nomor 16 Tahun 2016, Indonesia menargetkan pengurangan emisi pada 2030 sebesar 29% dengan usaha sendiri, dan/atau 41% melalui bantuan luar negeri.
Upaya konkret menuntaskan segala masalah ini ialah melalui dengan pemberlakuan pajak karbon. Kerusakan lingkungan akibat emisi karbon perlu dihitung dan dibebankan. Harga karbon adalah bentuk kompensasi yang dibayarkan oleh pencemar kepada masyarakat.
Penetapan harga karbon digunakan sebagai pemicu penurunan emisi karbon. Produsen emisi akan berusaha mengurangi beban pungutan wajib dengan membuatnya efisien dalam menghasilkan emisi. Sebenarnya, konsep pajak karbon dapat dikorelasikan dengan UU PPLH, mengingat kemiripan dengan konsep polluter pays principle.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.