Sejak mewabahnya COVID-19, terjadi tren kenaikan jumlah timbunan limbah medis di seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia. Menurut Asian Development Bank (ADB), DKI Jakarta saja menghasilkan limbah medis sebanyak 212 ton/hari (adb.org, 2020). Padahal, Indonesia hanya memiliki fasilitas pengelolaan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dalam jumlah yang masih terbatas.
Di Indonesia, limbah medis termasuk dalam golongan limbah B3 yang pengelolaannya telah diatur dalam PP Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Dari 132 rumah sakit rujukan yang telah diamanatkan oleh pemerintah untuk melayani pasien COVID-19, hanya 20 rumah sakit yang mempunyai isinerator berizin dan hanya 5 rumah sakit yang mempunyai autoclave. Selain itu, baru 110 dari sekitar 2000 rumah sakit yang memiliki fasilitas resonator berizin (Soemiarno, 2020). Sementara itu, limbah medis COVID-19 perlu diperhatikan penanganannya karena penyebab COVID-19 mampu bertahan dalam suhu dan kelembaban tertentu.
Limbah medis dihasilkan oleh beberapa sumber, seperti RS Rujukan COVID-19, Wisma Atlet, fasyankes, tempat sampah pada fasilitas umum, serta rumah tangga. Bentuk dari limbah medis Covid-19 bermacam-macam. Contohnya adalah Alat Pelindung Diri (APD) yang terdiri dari sarung tangan, masker, baju, penutup kepala. Sebagian besar dari limbah tersebut berbahan dasar plastik sehingga kegunaannya hanya sekali pakai.
Pada 2021, data Kementerian PPN/Bappenas menyebutkan bahwa potensi penimbunan limbah medis APD meningkat hingga 3-4 kali dari jumlah limbah sebelumnya. Di Bekasi, limbah medis COVID-19 tidak mengalami prosedur pembuangan yang baik karena tertumpuk dalam suatu tempat penampungan akhir (TPA). Limbah medis tersebut ditemukan bercampur dengan limbah non-medis lainnya.