Undang Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja merupakan salah satu bentuk Undang Undang berkarakteristik Omnibus Law. Artinya, Undang Undang ini mengatur berbagai substansi baik yang saling berkaitan ataupun tidak berkaitan guna melakukan penyederhanaan di berbagai UU yang sedang berlaku menjadi satu kesatuan yang lebih sederhana (Anggono, 2020). Dalam pembentukannya yang saat ini telah ditetapkan sebagai Undang Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, berbagai pihak menyampaikan beberapa catatan kritis terhadap UU ini. Maria Farida Indrati selaku guru besar ilmu perundang-undangan Fakutas Hukum Universitas Indonesia dan Hakim Periode 2008-2018 memberikan pandangan bahwa peraturan perundang –undangan harus dibentuk berdasarkan azas perundang-undangan yang patut dan juga berlandaskan filosofis, yuridis, serta sosiologis (Kompas, 2020).
Salah satu perhatian ialah Pasal 93 pada UU Cipta Kerja mengenai hilangnya gugatan admninistratif yang sebelumnya tercantum pada Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Banyaknya UU yang sebagian besar pasalnya dicabut atau dipindahkan menyebabkan materi yang dimuat menjadi hilang dan tidak lagi memiliki kekuatan hukum yang tetap. Akibatnya, masyarakat yang merasa dirugikan atas pencemaran atau kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh perusahaan atas izin eksploitasi lingkungan yang diberikan pemerintah tidak lagi dapat menggugat melaui Pengadilan Tata Usaha Negara.
Hal ini sangat kontradiktif apabila ditilik melalui hak konstitusi yang telah dijamin oleh negara pada Pasal 28H Ayat (1) dan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945. Pernyataan yang selaras juga pernah disampaikan oleh Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace, Hindun Mulaika yang mempermasalahkan proses perizinan yang tidak melibatkan peran serta masyarakat (Katadata.co.id, 2020).
Fungsi Partisipasi Publik Atas Lingkungan
UU PPLH dalam penjelasan umum menyebutkan bahwa lingkungan hidup harus dilindungi dan dikelola dengan baik berdasarkan asas tanggung jawab negara, asas keberlanjutan, dan asas keadilan. Lebih dari itu, pengelolaan atas lingkungan hidup haruslah dapat memberikan kemanfaatan ekonomi sosial dan budaya dengan melakukan prinsip kehati hatian,demokrasi lingkungan, serta pengakuan dan penghargaan terhadap kearifan local dan lingkungan. Namun, dengan dihapusnya gugatan administratif telah menciderai penguatan demokrasi lingkungan yang dilakukan melalui akses akses partisipasi, dan akses keadilan, serta penguatan hak-hak masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (Gappa, 2013).
Demi menjaga dan melindungi hak masyarakat atas lingkungan, diperlukan suatu partisipasi publik dalam mengawal setiap perizinan yang diterbitkan oleh Pemerintah. Selama ini, izin lingkungan atau izin usaha membuka ruang partisipasi kepada masyarakat untuk dapat menggugat ke PTUN ketika menemukan suatu izin yang diterbitkan melanggar peraturan yang terakomodasi pada Pasal 93 UU PPLH. (Hukumonline, 2020).
Pasal ini memberi wewenang kepada setiap orang untuk dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara (KTUN) apabila terdapat badan atau pejabat TUN menerbitkan izin lingkungan kepada usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki analisis dampak lingkungan (amdal) tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen amdal; izin lingkungan kegiatan yang wajib UKL-UPL namun tidak dilengkapinya dokumen tersebut; serta izin usaha dan/atau kegiatan yang tidak dilengkapi dengan izin lingkungan. Dalam hal ini, tata cara untuk mengajukan suatu gugatan terhadap KTUN mengacu pada Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. (Sunarya Raharja, 2014). Semenjak berlakunya UU Cipta Kerja, pasal ini dihapus tanpa adanya ketentuan pengganti.
Akomodasi partisipasi publik dalam pengawasan izin lingkungan terhadap Pemerintah seakan-akan sengaja dihilangkan sejak disahkannya UU Cipta Kerja. Pasal 93 yang mengatur hak untuk menggugat badan atau pejabat TUN sebelumnya hadir pada UU PPLH, namun tidak ada pada UU Cipta Kerja. Isi pasal-pasal di UU Cipta Kerja yang berkaitan dengan Pasal 93 tidak lagi menghadirkan partisipasi publik dapat menggugat secara administratif. Implikasi dari dihapusnya pasal ini tentunya akan menghilangkan hak masyarakat yang sebelumnya dapat menggugat Pemerintah, dalam hal ini badan atau pejabat TUN, ketika menerbitkan izin lingkungan yang tidak sesuai ketentuan, menjadi hilang. Maka, dampak dihapuskannya pasal ini juga akan berdampak pada makin kuatnya posisi pihak, baik orang maupun korporasi, untuk mengabaikan ketentuan izin lingkungan, serta Pemerintah sebagai pembuat kebijakan tidak lagi dapat dipertanggungjawabkan
Akibat Hukum
Pemerintah seakan menganggap dirinya memiliki kuasa penuh atas pemberian izin terhadap perusahaan yang ingin mengekploitasi lingkungan hingga lupa memperhatikan aspek non-hukum serta melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan akhir perizinan. Akibatnya produk hukum yang dikeluarkan pemerintah pada akhirnya berkarakter negatif dan tidak sesuai dengan Pasal 28H ayat (1) dan pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 serta UU No. 32 Tahun 2009 UUPLH yang menjamin pengelolaan lingkungan hidup mencapai keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia serta peningkatan perekonomian nasional yang bergantung pada hasil-hasil alam tidak akan pernah terjadi.
Tak heran apabila kesejahteraan yang seharusnya dinikmati oleh seluruh rakyat nyatanya hanya dinikmati oleh segelintir orang. Bentuk konkritnya telah terlihat atas perubahan hutan hijau yang kini menjadi ladang perkebunan sawit milik korporasi, pencemaran tumpahan minyak di Balikpapan,pencemaran Lingkungan di Desa Lakardowo,Kab Mojokerto yang hingga saat ini tidak menemukan penyelesaian secara win-win solution.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.