Lahirnya lembaga negara Komisi Yudisial dalam struktur ketatanegaraan Republik Indonesia sebagaimana termaktub dalam Pasal 24B Undang-Undang Dasar 1945 membawa harapan baru akan terciptanya peradilan yang bebas mafia dan berwibawa. Jaminan tersebut terdapat dalam Pasal 24 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.
Praktik penegakan hukum di Indonesia sampai saat ini masih dirundung oleh berbagai problematika. Hal ini tentu jauh untuk mencapai tujuan hukum utamanya yakni memberikan rasa keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Secara telanjang kita dapat melihat bahwa faktanya kasus hukum bisa direkayasa, baik pidana maupun perdata.
Jika ditelisik mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan hingga penjatuhan hukuman (putusan) semuanya bisa dimanipulasi dan direkayasa. Terlebih, jika berbicara tentang penjatuhan hukuman, maka sudah barang tentu hal ini menjadi puncak dari serangkaian proses hukum.
Hakim menjadi aktor utama dalam proses peradilan yang mana dituntut untuk mengasah kepekaan hati nurani, profesionalitas, dan kecerdasan moral dalam menegakkan hukum yang berkeadilan dalam wujud putusannya. Putusan-putusan hakim harus selalu dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan kepada masyarakat khususnya para pencari keadilan. Oleh karena itu, untuk menjaga independensi dan imparsialitas hakim diperlukannya pengawas eksternal yang independen, profesional, dan sesuai lingkup kerangka negara hukum.
Wewenang Komisi Yudisial
Komisi Yudisial dalam sistem ketatanegaraan mempunyai wewenang dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Wewenang tersebut tepatnya diatur dalam Pasal 13 yang berisi antara lain: (a) memberikan usulan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan; (b) menjaga dan menegakkan kehormatan, martabat, serta perilaku hakim; (c) menetapkan kode etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) bersama-sama dengan Mahkamah Agung; dan menegakkan pelaksanaan kode etik dan/atau perilaku hakim.
Mengakar dari uraian di atas, wewenang yang melekat pada Komisi Yudisial masih sangat lemah. Misalnya, dalam hal penjatuhan keputusan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim selama ini hanya sifatnya rekomendasi kepada Mahkamah Agung. Selain itu, dalam hal rekruitmen hakim ditingkat pengadilan pertama, Komisi Yudisial tidak dilibatkan dalam proses seleksi, dan dalam proses rekruitmen calon hakim agung yang lolos seleksi di Komisi Yudisial masih dapat ditolak oleh DPR.
Hal tersebut berakibat eksistensi dan peranan Komisi Yudisial sebagai lembaga penjaga sendi-sendi negara hukum dipertanyakan. Seolah-olah Komisi Yudisial jika dianalogikan bak seperti harimau yang tidak mempunyai taring.