Suap (bribery) bermula dari asal kata briberie (Perancis) yang artinya adalah ’begging’ (mengemis) atau ’vagrancy’ (penggelandangan). Dalam bahasa Latin disebut briba, yang artinya ’a piece of bread given to beggar’ (sepotong roti yang diberikan kepada pengemis). Dalam perkembangannya bribe bermakna ’sedekah’ (alms), ’blackmail’, atau ’extortion’ (pemerasan) dalam kaitannya dengan ’gifts received or given in order to influence corruptly’ (pemberian atau hadiah yang diterima atau diberikan dengan maksud untuk memengaruhi secara jahat atau korup). Sehingga pivate bribery disebut pula suap di sektor swasta.
Banyak yang tidak memahami terkait konsep suap di sektor swasta maupun suap sektor publik, berikut penjelasannya:
Suap di sektor swasta itu sendiri sama seperti suap pada sektor publik, hanya saja pihak yang menerima suap (passive bribery), bukanlah pejabat publik dan pihak yang menerima suap tersebut bertindak sesuatu (commission), maupun tidak bertindak sesuatu (omission) yang berlawanan dengan kewajibannya. Sebagai contoh, jika ada seorang bagian kepegawaian atau Human Resource Development di suatu perusahaan swasta X, diberikan sejumlah uang oleh salah satu calon pelamar kerja, agar si pemberi uang tersebut dapat bekerja di perusahaan tersebut, dan kedua belah pihak sepakat dan memiliki niat yang sama (meeting of mind), maka hal tersebut masuk dalam kategori ‘bribery in private sector.[1]
Penyuapan di sektor privat merupakan bagian dari korupsi di sektor privat yang lahir sebagai reaksi dari pertumbuhan ekonomi. Terdapat tiga faktor yang membuat kriminalisasi ini perlu dilakukan. Pertama pertumbuhan sektor privat yang pesat dan yang banyak jumlahnya, terutama di negara dunia ketiga yang melebihi jumlah pertumbuhan di sektor publik, kedua privatisasi kegiatan perekonomian dan ketiga lahir dan perkembangan perusahaan multinasional. Ketiga faktor ini mendorong terjadinya praktek korupsi yang tidak hanya melibatkan sektor publik namun juga yang terjadi antar sektor privat. Praktek ini tidak hanya dilakukan oleh individu saja tetapi juga melibatkan korporasi.
Salah satu kasus dugaan suap sektor swasta adalah kasus PT Interbat yang kemudian muncul melalui investigasi yang dilakukan oleh Tempo. PT Interbat diduga melakukan suap kepada beberapa rumah sakit dan dokter. Salah satu pihak yang mendapat suap tersebut adalah Rumah Sakit Metropolitan Medical Centre (MMC) yang merupakan rumah sakit swasta dan dokter yang bekerja di rumah sakit tersebut. Rumah Sakit MMC telah empat kali menerima uang dari PT Interbat dengan jumlah total Rp253 Juta. Dana tersebut masuk melalui rekening Robby Tandiari, Direktur Utama PT Kosala Agung Metropolitan, perusahaan pemilik MMC. Seperti tertulis dalam catatan keuangan PT Interbat yang diperoleh Tempo, uang tersebut digunankan untuk membiayai pembangunan fasilitas rumah sakit. Sebanyak 2.125 dokter juga diduga menerima suap hingga Rp131 Miliar. Sebagai imbal balik, MMC berjanji menjual sebanyak mungkin obat-obatan produksi perusahaan farmasi tersebut selama setahun, sejak Agustus 2013 sampai dengan September 2014.[2]