Perkembangan teknologi yang semakin pesat, turut memberikan tantangan tersendiri, khususnya dalam bidang hukum. Fleksibilitas teknologi, khususnya yang berhubungan dengan internet, sering kali tidak terakomodasi dalam regulasi yang berlaku. Hal ini berimplikasi, baik pada ketidakpastian hukum maupun tuntutan pembaruan hukum.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juncto Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut UU ITE), yang menjadi dasar dalam eksistensi pemanfaatan/penggunaan internet di Indonesia, ternyata belum mampu mengakomodasi segala bentuk tindakan yang menyangkut pemanfaatan/penggunaan internet. Hal ini terbukti dengan serangkaian kasus yang menyangkut penggunaan internet, khususnya melalui sosial media, salah satunya adalah cyberbullying (perundungan).
Pengguna internet di Indonesia pada tahun 2020 yang mencapai sekitar 196,7 juta orang, sangat berpotensi memunculkan beragam kasus cyberbullying. Dialami dan dilakukan dari berbagai usia. Menimbulkan dampak tekanan psikologis yang luar biasa, khususnya jika dialami oleh anak-anak. Secara khusus pada wilayah Polda Metro Jaya, setidaknya terdapat 25 laporan kasus cyberbullying setiap hari (Nugraha, 2019). Namun, berdasarkan data yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pada sampling survey tahun 2019, mendapati sekitar 49% pengguna internet di Indonesia, pernah mengalami cyberbullying (Pratomo, 2019).
Apabila ditinjau dari perspektif penegakkan hukum, kasus cyberbullying masuk dalam delik aduan. Artinya, aparat penegak hukum (polisi), tidak dapat melakukan tindakan inisiatif untuk menindak pelaku cyberbullying. Selain itu, secara normatif, regulasi yang ada berkenaan dengan cyberbullying, yaitu Pasal 28, Pasal 29 UU ITE, masih menunjukkan ketidakjelasan.
Bahkan, dalam implementasinya jarang digunakan. Ketika terdapat kasus cyberbullying, polisi cenderung akan menjerat pelaku pada tindakan pencemaran nama baik. Di sisi lain, penindakan kasus cyberbullying di Indonesia, masih memandang subyektifitas. Padahal dalam hukum, dengan berdasar pada asas equality before the law, seharusnya tidak ada subyektifitas. Cyberbullying ditetapkan sebagai sebuah kejahatan, namun dalam penegakkannya tidak menunjukkan cyberbullying sebagai kejahatan.
Kondisi demikian itulah yang menunjukkan adanya suatu paradoks dalam penegakkan hukum cyberbullying. Mengarahkan pada pertanyaan besar, mengapa dalam penegakkan hukum cyberbullying justru memunculkan sebuah paradoks? Mengakibatkan adanya penegakkan hukum yang lambat dan tidak konsisten.
Pembahasan
Kejahatan merupakan perbuatan yang disengaja, dan menimbulkan akibat yang merugikan. Secara normatif, kejahatan merupakan perbuatan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan sebagai suatu perbuatan yang dilarang (Paat, 2020). Di era yang serba digital seperti saat ini, bentuk kejahatan semakin meluas, tidak hanya dilakukan secara konvensional, tapi lebih memanfaatkan media teknologi seperti internet.
Cyberbullying, pada dasarnya merupakan perluasan makna dari tindakan bully yang biasanya dilakukan secara fisik ataupun mental, untuk menjadikan korbannya merasa tertekan secara psikologis (Anwar, 2009). Cyberbullying dilakukan melalui media elektronik, seperti sosial media Instagram, facebook, ataupun twitter.