Program Vaksinisasi Covid-19 di Indonesia akhirnya resmi mulai dilaksanakan pada Rabu, 13 Januari 2021. Program ini menggunakan vaksin hasil produksi Sinovac yang telah mendapatkan izin penggunaan darurat dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Selain itu, vaksin ini juga telah dipastikan halal oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Demi kelancaran Program Vaksinisasi ini, pemerintah meminta dukungan sebesar-besarnya dari masyarakat untuk dapat berpartisipasi.
Akan tetapi, masih banyak masyarakat Indonesia yang tidak menyambut hangat kehadiran dari vaksin Covid-19. Hal ini dikarenakan masyarakat masih memiliki ketakutan akan efek samping yang mungkin saja timbul dari penggunaan vaksin ini. Tidak hanya itu, keraguan terhadap efektivitas dari vaksin tersebut juga menjadi salah satu alasan dari enggannya masyarakat untuk divaksin. Hal ini tentunya akan menjadi hambatan bagi kesuksesan program vaksinisasi di Indonesia.
Menanggapi banyaknya respon publik yang menolak program vaksinisasi, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Edward Hiariej secara tegas menyatakan bahwa bagi masyarakat yang tidak bersedia untuk divaksin, maka ada sanksi pidana yang akan diberikan. Sanksi yang dimaksud merujuk pada Pasal 9 jo Pasal 93 Undang-Undang No.6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (UU Kekarantinaan).
Pada Pasal 9 ayat (1) UU Kekarantinaan Kesehatan disebutkan bahwa, “Setiap Orang wajib mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan”. Selanjutnya, pada Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan tertulis, “Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan, sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”.
Ia juga menambahkan bahwa vaksinasi Covid-19 merupakan bagian dari kewajiban seluruh warga negara untuk mewujudkan kesehatan masyarakat. Hal ini beliau sampaikan melalui webinar yang diadakan oleh PB IDI.
Pemberian sanksi bagi para penolak vaksin sendiri sebenarnya juga merupakan wewenang yang telah diberikan kepada pemerintah masing-masing daerah. Salah satu daerah yang telah memberlakukan pemberian sanksi bagi para penolak vaksin adalah DKI Jakarta. Pada Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Penanggulangan Corona Virus Disease 2019, tepatnya dalam Pasal 30, diatur bahwa “Setiap orang yang dengan sengaja menolak untuk dilakukan pengobatan dan/atau vaksinasi Covid-19, dipidana dengan pidana denda paling banyak sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah)”
Munculnya ancaman sanksi pidana bagi para penolak vaksin menuai beragam kritik dari masyarakat. Sebagian masyarakat menilai bahwa hal ini merupakan bentuk pemaksaan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Mendukung hal ini, integritas terhadap tubuh seseorang sebenarnya juga telah dilindungi oleh Undang-Undang No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (UU Kesehatan), yaitu pada Pasal 5 yang berbunyi bahwa, “Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.”
Selain itu, dalam Pasal 7 Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) serta Deklarasi Universal tentang Bioetika dan Hak Asasi Manusia juga dinyatakan bahwa intinya intervensi medis yang akan dilakukan kepada seseorang hanya boleh dilakukan apabila sebelumnya telah mendapat persetujuan dan tanpa paksaan berdasarkan informasi memadai yang telah diberikan. Persetujuan tersebut juga harus dinyatakan dan dapat ditarik kembali kapan saja dan dengan alasan apa pun. Oleh karena itu, lebih tepat apabila disimpulkan bahwa vaksinasi Covid-19 bukan bersifat wajib, melainkan sukarela sehingga seharusnya tidak dapat dijatuhi hukuman pidana.
Apabila merujuk pada UU Kekarantinaan, masyarakat hanya diwajibkan untuk mematuhi kegiatan kekarantinaan kesehatan, bukan kewajiban vaksinasi Covid-19. Hal ini dapat dilihat dari definisi kekarantinaan kesehatan yang terdapat dalam Pasal 1 UU Kekarantinaan, yaitu adalah upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, UU Kekarantinaan lebih cenderung mengatur aktivitas sosial masyarakat yang kemudian terbagi dalam beberapa bentuk karantina, yaitu Karantina Wilayah, Karantina Rumah, Karantina Rumah Sakit, dan Pembatasan Sosial Berskala Besar. Selain itu, pengaturan mengenai vaksin juga tidak terdapat dalam UU Kekarantinaan.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.