Selain itu, kasus nenek Minah jika ditelaah lagi dengan hukum dan stratifikasi sosial justru sangat tepat untuk dikaitkan. Kita tahu bahwa dalam kehidupan sehari-hari terdapat kelompok sosial tertentu yang begitu berpengaruh terhadap keberadaan hukum sehingga kelompok yang lain, suka atau tidak, harus mengikuti hukum yang dipengaruhi oleh kelompok tersebut. Seperti pada kasus tersebut mereka yang memiliki kekuasaan akan mudah untuk mengatur jalan nya hukum, dapat kita lihat nenek Minah yang berasal dari keluarga yang tidak mampu harus dihadapkan oleh hukum. Tidak ada yang bisa membantu, seolah-olah karena nenek Minah tidak punya kekuasaan lebih maka apapun yang dilakukan nya akan tetap salah. Suka atau tidak, kita akan terjebak oleh arus dimana kita dikendalikan oleh kelompok sosial yang memiliki kekuasaan penuh untuk mengatur segalanya. Karena semakin tinggi kedudukan seseorang dalam pelapisan sosial maka semakin sedikit yang mengaturnya, begitupun sebaliknya.
Melihat realitas di atas menurut penulis sendiri praktik kehidupan hukum di Indonesia terlalu mengerikan. Apalagi jika hukum tersebut dikaitkan dengan kekuasaan. Menurut sudut pandang hukum dan kekuasaan kasus nenek Minah telah di politisasi.
Seperti yang dikatakan oleh Mochtar Kusumaatmadja yaitu hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kezaliman.
Dalam penerapannya, hukum memerlukan kekuasaan. Kekuasaan memberikan kekuatan kepada penegak hukum untuk menjalankan fungsi hukum (Satjipto Rahardjo, 1982: 160). Melihat realita yang tampak, nyatanya kekuasaan memang sering di politisasi.Seperti kekuasaan yang dimiliki oleh perkebunan kakao PT RSA tersebut. Dengan kekuasaan nya, mereka mampu melakukan apa yang menurut mereka salah. Demi kepastian hukum, sekecil apapun pelanggaran hukum harus diproses secara hukum. Nenek Minah yang polos tidak tahu apa-apa akan mengikuti jalan nya proses hukum tersebut. Tapi dapat kita lihat di sisi lain, begitu banyak kasus yang nilainya milyaran bahkan triliunan tetapi harus lenyap dalam proses hukum. Perkaranya harus dihentikan tanpa adanya kejelasan dan alasan hukum yang pasti.
Memang, Negara kita adalah negara hukum demikian yang terkandung dalam konstitusi kita. Hukumlah yang harus menjadi panglima, bukan politik, apalagi kekuasaan. Jadi, tak sepantasnya jika kekuasaan membuat hukum menjadi alat untuk melakukan apapun. Kita hidup di negara hukum, hukum yang menjadi acuan kita. Terkadang bermacam-macam permasalahan dijadikan politisasi. Karena apa? Karena kekuasaan tadi. Mereka menggunakan kekuasaan untuk mempermudah segala keinginan mereka. Jadi tak sepantasnya dengan kekuasaan kita, hukum kita jadikan politisasi di negara sendiri.
Oleh karena itu, kita sebagai warga negara yang hidup di negara hukum harus memiliki kesadaran atas hukum tersebut. Melihat contoh kasus nenek Minah di atas telah membuat kita sadar bahwa hukum di negara Indonesia terlalu mengerikan. Kesadaran hukum itu sendiri merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau yang diharapkan ada.
Seperti yang diutarakan Otje Salman (1993: 56) menyatakan, bahwa kesadaran hukum berkaitan dengan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat.
Dengan demikian, masyarakat mentaati hukum bukan karena paksaan melainkan karena hukum itu sendiri sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat itu.