Menurut Prof. Dr. M. Giovanoli pencucian uang atau Money laundering merupakan proses dan dengan cara seperti itu, maka aset yang di peroleh dari tindak pidana dimanipulasikan sedemikian rupa sehingga aset tersebut seolah berasal dari sumber yang sah. Mengacu pada ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, maka yang dimaksud TPPU “perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini”. Dari ketentuan tersebut maka jelas TPPU tidak hanya mengancam stabilitas perekonomian dan integritas sistem keuangan, tetapi juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945 . Oleh karena itu jelas bahwa TPPU merupakan serious crime sesuai konvensi PBB tahun 1995 dan terakhir pada konvensi Palermo 2000.
Melihat dampak TPPU yang sangat berpengaruh sistemik maka dibutuhkan pemulihan kembali aset Negara dengan cara perampasan aset. Berdasarkan Pasal 1 angka 3 RUU Perampasan aset, dijelaskan bahwa perampasan aset adalah upaya paksa yang dilakukan oleh Negara untuk merampas Aset Tindak Pidana berdasarkan Putusan Pengadilan Tanpa didasarkan pada penghukuman terhadap pelakunya. Lantas mengapa perampasan aset yang dianggap relevan untuk memulihkan aset? Hal ini dikarenakan penghukuman pidana penjara untuk TPPU tidak memberikan esensi keadilan, disebabkan pelaku TPPU pasca penghukuman masih dapat menikmati hasil kejahatannya.
Terkait dengan perampasan aset, Mardjono Reksodiputro mengemukakan dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu perampasan pidana atau in persona, perampasan administrasi, serta perampasan perdata atau in rem. Diantara ketiga cara perampasan tersebut, ditegaskan kembali bahwa hanya perampasan Perdata atau in rem yang paling optimal untuk digunakan untuk memulihkan aset Negara. Theodore S. Greenberg mengemukakan bahwa Non Conviction Based Aset Forfeiture disebut juga perampasan perdata, perampasan in rem, atau perampasan obyek, merupakan tindakan terhadap aset itu sendiri dan bukan kepada seorang individu. Menurutnya, proses ini merupakan tindakan yang terpisah dari proses peradilan pidana dan membutuhkan dasar bahwa harta tersebut tercemar.
Penerapan NCB dalam hal Model pengejaran terhadap keuntungan ilegal ini kemudian diatur dalam United Nations Convenant Against Corruption (UNCAC) pada 2003. Dalam Pasal 54 ayat (1) UNCAC pun diatur bahwa semua negara pihak harus mempertimbangkan mengambil tindakan yang dianggap perlu sehingga perampasan aset hasil korupsi dimungkinkan tanpa proses pidana dalam kasus-kasus dimana pelanggar tidak dapat dituntut dengan alasan kematian, pelarian, atau tidak ditemukan atau dalam kasus-kasus lainnya. Hal ini membuat negara pihak sepakat bahwa NCB asset forfeiture dapat digunakan sebagai alat atau sarana untuk merampas aset hasil korupsi di semua yurisdiksi.
Konsep NCB asset forfeiture pada dasarnya merujuk pada mekanisme perampasan perdata atau in rem.[2] Istilah NCB asset forfeiture memang belum dikenal jelas dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, sehingga belum ada definisi yang jelas terkait ini. Oleh karenanya, banyak kalangan khususnya para akademisi, mendesak agar pemerintah segera mengimplementasikan konsep perampasan aset tanpa pemidanaan dalam Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset (RUU Perampasan Aset) yang sampai saat ini belum disahkan meskipun sudah masuk dalam Prolegnas 2015-2019.
Dari penjelasan diatas, maka seharusnya perampasan aset secara perdata tepat untuk kemudian diterapkan di Indonesia. Penolakan kemudian juga muncul dalam menggali informasi keuangan pelaku di bank, yang merupakan informasi rahasia pribadi dan rahasia bank yang dalam KUHAP tidak diatur. Akan tetapi sesuai dengan asas hukum “tiada hukum tanpa pengecualian” sehingga dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentag Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, memberikan pengecualian terkait hal tersebut sehingga penggalian informasi tetap dapat dilakukan. Apabila hasil pemeriksaan memiliki determinan kuat pada TPPU maka tindakan perampasan oleh negara adalah tindakan yang dibenarkan untuk mengembalikan aset negara dari pelaku.