Selain dari faktor penyebab di atas, juga terdapat beberapa faktor lain sebagai penghambat penegakan hukum. Pertama, lemahnya political will atau kemauan politik dan political action tindakan politik oleh para pemimpin negara ini untuk menjadikan hukum sebagai panglima dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dengan kata lain, supremasi hukum masih sebatas retorika dan jargon politik.
Kedua, lemahnya peraturan perundang–undangan yang ada saat ini, yang masih lebih merefleksikan kepentingan politik penguasa ketimbang kepentingan warga negara atau rakyat. Contohnya antara lain adalah seperti UU Nomor 2 Tahun 2018 Tentang MD3, yang di dalamnya banyak terdapat beberapa pasal yang mengistimewakan dari anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Ketiga, kebijakan yang diambil oleh para pihak terkait dalam mengatasi persoalan penegakan atau peradilan hukum masih bersifat parsial, tambal sulam, tidak komprehensif, dan tersistematis. Terakhir dan terpenting penyebab tidak terlaksananya equality before the law adalah rendahnya integritas, kredibilitas, profesionalisme, dan kesadaran hukum oleh penegak hukum (advokat, polisi, hakim, jaksa, dan lapas) dalam penegakan hukum di Indonesia.
Bila penegak hukum di Indonesia menjalankan tupoksi dengan sebenar-benarnya atau tidak menyimpang, mungkin equality before the law bisa terlaksanakan di Indonesia dan tidak akan ada lagi yang namanya pepatah “Hukum Indonesia Tajam ke Bawah, Tumpul ke Atas”. Karena equality before the law adalah hak setiap warga negara tanpa ada yang terkecuali yang dijamin oleh UUD NRI Tahun 1945.
kawanhukum.id bersama Penghubung Komisi Yudisial Jawa Timur mengadakan lomba esai dalam rangka HUT KY ke-15. Lomba ini mengusung tema, Komisi Yudisial, Integritas Hakim dan Masa Depan Pengadilan di Indonesia. Partisipasi peserta adalah bagian dari usaha mewujudkan peradilan Indonesia yang bersih untuk penegakan hukum Indonesia yang lebih baik. Kirimkan tulisanmu sebelum 27 Agustus 2020!