UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran secara tegas menjamin kebebasan dan kemerdekaan pers wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Tentunya, melalui pasal tersebut, pembungkaman dan pembredelan pers dianggap sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia dalam berekspresi.
Di lain pihak, penjabaran KEJ lebih menekankan profesionalitas, integritas, dan objektivitas para pekerja media. Misalnya, wartawan harus bersikap independen dalam menghasilkan berita yang akurat, berimbang, objektif, dan selalu mengedepankan asas praduga tidak bersalah. Selain itu, proses pemberitaan harus mampu mendiskreditkan unsur SARA, prasangka, stereotipe negatif, dan diskriminasi.
Senada dengan hal itu, P3 dan SPS dalam dunia penyiaran pun sangat menitikberatkan integritas dan objektivitas sebuah siaran lewat penayangan dan penyiaran acara yang substantif, edukatif, dan berkualitas. Semua konten regulasi tersebut berguna agar dampak yang timbul dari pemberitaan dan penyiaran bisa tersaring secara baik dan efektif guna meminimalisir efek negatif bagi masyarakat.
Dalam proses perkembangannya, media massa pun mengalami berbagai disorientasi, sehingga tanpa sadar atau disadari, media massa terjebak pada prinsip regulatif dan atau penyimpangan tak kasat mata terhadap regulasi media itu sendiri. Seumpana gagal mendefinisikan jati diri antara harapan dan kenyataan, media massa seakan terbawa hangut ke dalam arus minus nurani. Artinya, integritas menjadi pertaruhan ketika kebutuhan media berjalan terbalik dengan tuntutan regulasi. Alhasil, UU Pers dan Penyiaran seakan menjadi pajangan yang sewaktu-waktu bisa ditolerir demi pencapaian kepentingan korporasi.
Ibrahim (2011) dalam bukunya Kritik Budaya Komunikasi menggambarkan dua corak budaya media yang sangat menonjol, yakni corak budaya media massa yang berpusat pada media massa itu sendiri dan corak budaya yang berpusat pada publik. Corak budaya yang berpusat pada media massa itu sendiri pada dasarnya berlandaskan pada entitas bisnis dan profit semata sehingga logika komersialisme dan komodifikasi berita menjadi paradigma dan cara berpikir para pelaku media massa. Corak budaya media massa yang berpusat pada publik adalah sebuah entitas ideal yang menjadikan media massa sebagai kekuatan penting dalam pembentukan lingkungan hidup, pemerintahan dan politik yang sehat.
Dalam sebuah kontestasi politik misalnya, corak budaya yang berpusat pada media massa adalah stimulus utama dalam pendistorsian proses demokratisasi. Bagaimana tidak? Logika yang akan dibangun pasti akan sulit menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan profit korporasi. Hal tersebut terjadi karena adanya indikasi monopoli pemilik media yang melakukan konglomerasi media.
Dalam kondisi tersebut terdapat dua aktor utama yang ikut berpartisipasi dalam dunia jurnalisme, yakni politisi dan “pedagang”. Politisi akan mengendalikan pers dengan merekayasa hukum dan intimidasi, sedangkan pedagang mengendalikan pers dengan memanfaatkan kepemilikan modal atau saham untuk mengontrol isi media atau mengancam “wartawan yang nakal”.
Berangkat realitas tersebut, secara otomatis ada dua tekanan utama pemberitaan, yakni; tekanan berita pada orang atau pribadi (person centered-reporting) dan tekanan berita pada peristiwa (event centered-reporting). Menurut Ibrahim, dalam setiap interaksi antara politik dan media terdapat sebuah orientasi dasar jurnalistik yang lebih merujuk pada “orang” ketimbang “peristiwa atau fakta”.