Pesatnya perkembangan zaman tentunya diikuti oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Pada dasarnya teknologi informasi dan komunikasi hadir sebagai sarana untuk memudahkan hidup manusia melalui dampak positif yang ditimbulkannya. Dampak positif dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi banyak kita lihat di kehidupan sehari hari, seperti memudahkan manusia dalam berkomunikasi, transaksi, dan terhubung ke seluruh penjuru dunia melalui internet. Survei yang dilakukan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2016 menunjukkan bahwa pengguna internet di tahun 2016 mencapai 132.7 juta atau setara 51.7% dari jumlah populasi sekitar 256.2 jiwa. Hal ini menunjukkan bahwa hampir setengah dari populasi masyarakat merasakan dampak dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi saat ini.
Bagai pisau bermata dua, pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi juga memiliki sisi negatif dimana penggunaan internet yang tanpa batas menyebabkan pengguna bisa bebas berbicara dan berpendapat tentang apapun, terhadap siapapun, dan dengan cara bagaimanapun, sehingga tidak jarang cara maupun konteks yang disampaikan berseberangan dengan etika yang berlaku di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini lah yang mendasari pemerintah Indonesia membentuk Undang-Undang No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang pada akhirnya dikenal dengan sebutan UU ITE.
UU ITE tak hanya memuat tata cara beretika yang baik dalam bersosial media, namun UU ITE juga memuat ancaman pidana bagi siapa saja yang sengaja melakukan kejahatan lewat sosial media. Namun demikian dalam penerapannya, UU ITE seringkali membuat resah masyarakat Indonesia. Seperti contoh pada Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang berbunyi “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.” . Pasal ini dianggap meresahkan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia karena beberapa alasan, antara lain :
- Sering salah tafsir oleh penegak hukum
- Tidak bisa membedakan mana yang pelaku dan mana yang korban. Contohnya adalah kasus Prita vs RS OMNI
- Pasal karet yang seringkali membuat takut masyarakat terkait adanya UU ITE ini, karena pada dasarnya pasal karet adalah pasal yang tidak memiliki tolok ukur yang jelas sehingga yang seharusnya tidak terjerat pasal ini malah bisa jadi terjerat, begitupun sebaliknya
- Kepentingan politik
Kontroversi UU ITE juga pernah terjadi terkait Pasal 27 Ayat (3) UU ITE dimana pada tahun 2008 pernah dilakukan judicial review terhadap UUD 1945. Judicial review tersebut menghasilkan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Perkara No.50/PUU-VI/2008 yang salah satu poinnya berbunyi “bahwa nama baik dan kehormatan seseorang patut dilindungi oleh hukum yang berlaku”. Alasan utama dibalik munculnya putusan hakim tersebut adalah bahwa pasal tersebut sejalan dengan Pasal 28G ayat (1) dan (2) UUD 1945 tentang perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia. Alasan selanjutnya adalah untuk menjaga keseimbangan dan mencegah terjadinya hukum rimba di dunia maya, dimana arti dari hukum rimba adalah “hukum yang menyatakan siapa yang menang atau yang kuat dialah yang berkuasa”. Hal ini disebabkan oleh banyaknya pelanggaran yang tidak dapat diselesaikan karena belum ada kekuatan hukum yang memadai.
Bermanfaat bgt ❤❤❤
Kren.. semangat
Bagus bgt