Indonesia merupakan salah satu negara dengan penduduk terpadat di dunia. Berdasar hasil rilis Badan Pusat Statistik pada tahun 2020, Indonesia mempunyai jumlah populasi sebanyak 270.20 juta jiwa,yang menempatkan Indonesia sebagai negara ke empat dengan populasi paling banyak di dunia. Dengan makin banyak nya jumlah manusia, maka tingkat gesekan antar individu pun semakin meningkat. Dengan kata lain, jumlah permasalahan pun semakin meningkat.
Untuk itu dibuat lah suatu peraturan yang bersifat mengikat, agar masing masing dari setiap individu itu pun mempunyai batasan batasan dalam berbuat suatu hal. Dengan tujuan tiada lain adalah untuk melindungi individu itu sendiri. Hal itu lah yang dinamakan dengan HUKUM.
Indonesia sendiri merupakan negara yang sangat menjunjung tinggi hukum. Seperti yang sudah tertulis pada Pasal 1 Ayat 3 UUD 1945.
Namun pertanyaannya adalah apakah penegakan hukum di Indonesia sudah sesuai dengan apa yang dicita-citakan.
Mungkin pernah kita mendengar kasus novel Baswedan. Dimana terdakwa penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan, Rahmat Kadir Mahulette dan Rony Bugis yang merupakan oknum anggota Polri, dituntut hukuman satu tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum dalam sidang tuntutan yang disiarkan live streaming di Pengadilan Negeri Jakarta pada Kamis (11/06/2020) lalu.
Keduanya dituntut olek Jaksa dengan Pasal 353 Ayat (2) KUHP juncto Pasal 55 Ayat (1) ke – 1 KUHP. Kasus Novel Baswedan tersebut merupakan penganiayaan berencana yang mengakibatkan luka berat, yakni kecacatan permanen pada mata sebelah kiri Novel Baswedan
Maka, jika dilihat dari Pasal yang diterapkan oleh Jaksa terhadap kedua terdakwa tersebut, harusnya keduanya dituntut hukuman maksimal yaitu tujuh tahun penjara sesuai kesalahan dan perbuatan yang dilakukan keduanya serta mempertimbangkan asas-asas hukum yang ada, baik itu asas keadilan hukum maupun asas equality be for the law (persamaan hak dihadapan hukum).
Hal itu merupakan salah satu contoh tidak tercapainya cita-cita hukum di Indonesia. Seakan orang yang berusaha keras menegakan kebenaran laksana seorang yang memegang bara api.
Baru-baru ini ada bahkan sekelas Menteri Sosial pun memumut “Jatah Preman” dari sembako yang sepatut nya diberikan secara tulus kepada orang yang hidupnya kurang beruntung. Lalu jika bukan disebut jahat, apalagi hal yang bisa menggambarkan kenyataan pahit seperti ini. Mungkin tidak ada lagi kata-kata yang bisa menggambarkan lagi hal semacam itu.