Lembaga peradilan memiliki peran yang sangat penting dalam sistem tata negara di Indonesia. Penerapan lembaga negara yang terpercaya, berkompeten, profesional dan tak kalah penting adalah menciptakan lembaga peradilan yang agung adalah tujuan utama dari keberadaan lembaga peradilan di Indonesia. Bukan tanpa alasan suatu lemabaga peradilan memiliki visi misi yang tinggi, sebab banyak masyarakat yang menanti keadilan yang mereka perjuangkan di “meja hijau”.
Masyarakat mamapu menilai lembaga peradilan tak sebatas pada pelaksanaan saja, akan tetapi masyarakat dapat menilai melalui produk hukum yang dihasilkan. Apakah dari sekian banyak produk hukum yang dikeluarkan telah mampu menjawab dan memenuhi keadilan bagi seluruh pihak. Surat Edaran Jaksa Agung adalah salah satu produk dari Kejaksaan Republik Indonesia yang akan menjadi kajian utama dalam artikel ini. Melihat isi dari SEJA ini akan sangat menarik untuk dibahas terutama mengenai kewajiban seorang jaksa dalam menuntut suatu perkara di muka persidangan.
B. Pembahasan
Surat Edaran Jaksa Agung adalah surat yang dikeluarkan oleh kejaksaan Agung RI yang berisi hal-hal yang berkaitan dengan tugas seorang jaksa. Surat edaran ini bersifat mengikat bagi seluruh jaksa di Indonesia dan dijadikan dasar bagi para jaksa untuk menuntut pihak yang disangka dalam pengadilan. Dikeluarkannya surat edaran ini tentu menjadi acuan bagi jaksa dalam memberikan tuntutan kepada yang disangka. Namun, dengan dikeluarkannya surat edaran ini justru menimbulkan polemik yang malah merugikan salah satu pihak (pihak yang disangka). Berikut akan dijelaskan lebih lanjut:
-
-
- Poin 2 pada Surat Edaran Jaksa Agung No. SE-006/A/JA/08/2003 : Dalam poin ini dijelaskan bahwa jaksa menuntut bebas apabila saksi atau bukti tidak ada, namun pada kenyataannya masih ada jaksa yang tetap memaksa menjatuhkan pidana terhadap pihak yang didakwa atau disangka. Hal ini dilakukan dengan alasan jika para jaksa menjatuhkan tuntutan bebas kepada pihak yang disangka maka jaksa akan dianggap telah gagal atau lalai dalam menjalankan tugasnya karena tidak dapat membuktikan kesalahan bagi pihak yang disangka. Selain itu, dengan dikeluarkan SEJA No. SE-006/A/JA/08/2003 membuat jaksa harus menuntut pidana kepada pihak yang disangka, seperti yang tercantum pada poin pertama yang berbunyi “Bahwa pada dasarnya Jaksa tidak diperkenankan menuntut bebas suatu perkara sesuai tugas dan wewenang untuk melakukan penuntutan dalam perkara pidana, (pasal 182 (1) a KUHAP)”. Jika dilihat dengan seksama pada poin pertama dapat disimpulkan bahwa ada atau bukti seorang Jaksa tidak diperkenankan menjatuhkan tuntutan bebas kepada pihak yang disangka, sehingga membuat pihak yang disangka tidak memiliki kesempatan untuk lepas dari tuntutan pidana dan akan merasa dirugikan. Jika praktik demikian masih dilakukan apakah sudah memenuhi unsur keadilan bagi semua pihak?
- Dikeluarkannya Surat Edaran Jaksa Agung tidak sesuai dengan asas praduga tak bersalah : Surat edaran ini tidak sesuai dengan asas praduga tak bersalah, sebab asas praduga tak bersalah ialah asas yang menganggap setiap orang yang disangka melakukan tindak pidana harus diperlakukan sama dan wajib dianggap tidak bersalah. Tetapi jika melihat Surat Edaran Jaksa Agung No. SE-006/A/JA/4/1995 yang substansinya tidak memuat bagi penuntut untuk menjatuhkan tuntutan bebas bagi pihak yang disangka atau didakwa. Maka secara otomatis jaksa telah menganggap bahwa pihak disangka dalam suatu kasus perkara pidana adalah pihak yang dianggap bersalah. Jelas hal ini melanggar asas praduga tak bersalah seperti yang telah dijelaskan di awal.
-
Meninjau dari apa yang telah dijelaskan diatas, bahwa sesungguhnya surat edaran yang pada awalnya dikeluarkan sebagai jawaban atas keraguan masyarakat kini berubah menjadi “senjata makan tuan” yang malah merugikan pihak lain dalam suatu perkara pidana di pengadilan.
C.Kesimpulan
Berdasarkan asas praduga tak bersalah penjatuhan tuntutan pidana seharusnya lebih berdasarkan barang bukti dan saksi yang mampu dihadirkan dalam persindangan. Barang bukti menjadi poin penting dalam suatu persidangan karena merupakan dasar pengambilan putusan penjatuhan pidana oleh jaksa. Poin penting lainnya yang tak kalah menarik adalah saksi yang dihadirkan, kehadiran mereka sangat penting untuk mencari informasi terkait dengan permasalah dalam persidangan. Oleh karena itu, sebagai seorang jaksa harus teliti dalam menangani suatu perkara, agar penjatuhan tuntutan pidana terhadap pihak yang disangka berdasarkan bukti yang ada dan relevan. Lain halnya jika penjatuhan tuntutan pidana terhadap pelaku yang disangka hanya berdasar SEJA atau aturan dalam KUHAP tanpa memertimbangkan bukti yang ada malah akan membuat pihak yang disangka merasa dirugikan. Sebab pihak yang disangka seperti tidak boleh lepas dari tuntutan pidana walaupun tidak terdapat cukup bukti.
Perlu adanya tindakan tegas dan berani dari para penegak keadilan di pengadilan agar kebiasaan yang sekiranya merugikan masyarakat tidak terulang secara terus-menerus. Nilai keadilan yang sejatinya adalah nilai yang harus diperjuangkan di lembaga peradilan sudah sepatutnya menjadi prioritas utama. Nilai keadilan yang dimaksud bukan hanya menyangkut satu atau dua pihak tetapi semua pihak yang terlibat (korba, pelaku, jaksa, dll) dalam suatu perkara di pengadilan. Tentu dibutuhkan tekad yang kuat dan bulat dalam melaksanakan hal itu, namun jika para penegak hukum telah memahami makna dari pekerjaan mereka, mungkin akan ada revolusi sistem yang lebih maju di lingkungan peradilan. Jika keadilan telah terpenuhi di dalam penerapan penegakan hukum di lingkungan lembaga peradilan maka aspirasi masyarakat tidak terabaikan lagi dalam rangka mencari keadilan di negeri sendiri.