Persoalan Penegak Hukum (dibaca Kepolisian), dimana seharusnya bertugas mengamankan dan menertibkan justru terbukti melanggar ataupun mengabaikan aturan-aturan hukum yang berlaku atas pertimbangan-pertimbangan subjektif dan/atau menjadikan aturan-aturan itu peluang terjadinya perbuatan tercela. Polemik kinerja ini nampak dari tindakan represif dan kriminalisasi pada demo #tolakomnibuslaw Oktober 2020 kemarin.
Gelombang besar demonstrasi yang direspon dengan berbagai macam bentuk pembungkaman berupa pelemparan gas air mata langsung pada demonstran, patroli siber dengan menangkap secara sewenang-wenang, penyebaran banyak intel untuk masuk dalam rombongan dengan tujuan menangkap mahasiswa ketika lengah.
Termasuk juga dan tidak terbatas kriminalisasi yang kerap dilakukan aparat penegak hukum. Misalnya, sesaat penangkapan Ravio Patra dan Jerinx yang menurut Kontras merupakan tanda main hakim sendiri oleh aparat. Peristiwa itu menunjukkan situasi penegakan hukum yang belum baik dan belum memberikan rasa keadilan kepada sipil dalam berpendapat maupun kritik terhadap kinerja penyelenggara Negara.
Kemudian, persoalan penegakan hukum atas pelenggaran HAM yang tidak kunjung terselesaikan. Kenyataannya dapat kita lihat dalam Tragedi Semanggi I dan II yang masih menyisahkan kontradiktif dalam pemenuhan keadilannya. Dari hasil temuan investigasinya, dalam tragedi tersebut terpampang jelas bagaimana brutalnya aparat yang menghujan para demonstran dengan peluru tajam.
Berlanjut dengan penggunaan institusi-institusi tertiorial seperti Kodam dan Polda, terdapat pula pengerahan pasukan Kotama Fungsional seperti Kostrad yang penugasannya hanya dapat digunakan atas perintah petinggi TNI dan bertanggung jawab langsung dibawah Presiden.
Selanjutnya, persoalan substansi perundang-undangan yang dibuat oleh legislative dan executive. Persoalan yang muncul adalah akibat dari tumpang tindihnya substansi suatu peraturan, kekosongan peraturan tertentu yang menjamin perlindungan warga negara, dan kurangnya sosialisasi publik terkait penyusunan perundang-undangan.
Fakta ini dapat dilihat dari indeks jumlah kekerasan seksual terhadap wanita dan pria yang terus naik tiap tahunnya, tetapi hingga sekarang proses legislasi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang terus diundur dan belum kunjung terjawabkan. Penyusunan ini dinilai lambat karena adanya pembahasan yang selalu terbentur tafsir antar kelompok perwakilan partai terkait dengan judul, definisi kekerasan seksual, batasan kekerasan seksual, relasi kuasa, dan lainnya.
Pada akhirnya, aparat penegak hukum yang tidak tahu harus memidanakan dengan pasal apa hanya memasukannya dalam list daftar kriminal, tanpa ada proses penegakan hukum yang pasti. Kemudian, Indonesia hingga saat ini belum mempunyai statistik nasional untuk tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), yang mana membuat konstruksi penegakan hukum dan penelusuran atas setiap kasusnya sulit ditegakkan.
Komnas Perempuan melalui Catatan Tahunan (CATAHU) pada tahun 2020, mencatat bahwa KDRT atau Ranah Personal masih menempati pada urutan pertama dengan jumlah 75,4% dibandingkan dengan ranah lainnya.
Dalam perkembangannya pun para korban KDRT mengalami kesulitan ketika pengajuan laporan kepada penegak hukum, karena kuatnya pandangan bahwa perlakuan kasar suami kepada istri merupakan bagian dari peristiwa privat (urusan rumah tangga), sehingga tidak bisa dilaporkan kepada aparat kepolisian. Implikasinya, kondisi hukum yang tidak memberikan pilihan (berupa mekanisme pengaduan perlindungan) membuat perempuan membiarkan dan memendam sendiri permasalahan tersebut.