Ketiga, tidak di semua lembaga pemasyarakatan (lapas) memiliki fasilitas yang memadai untuk dilaksanakan sidang secara virtual. Artian fasilitas disini berupa ruangan untuk tahanan melakukan sidang virtual. Pihak lapas baru dapat menyediakan ruangan saat persidangan akan berlangsung dan hanya bisa dilakukan pada saat itu juga.
Keempat, kurang adanya penyuluhan terkait pelaksanaan sidang virtual ini. Secara fakta masih banyak kendala di lapangan menyangkut e-litigation. Meski begitu, persidangan tetap harus dilaksanakan apapun kendalanya.
Masih Perlu Penyesuaian
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa masih sulitnya aparat penegak hukum untuk menyesuaikan diri terkait dengan persidangan yang dilakukan secara virtual. Pada sisi lain, memang persidangan virtual di masa pandemi dapat menjadi alternatif namun sangat diperlukan pula penyusunan regulasi atau standardisasi sarana dan prasarana persidangan secara virtual bagi lingkup peradilan tingkat pertama maupun tingkat banding di seluruh Indonesia karena masih banyaknya kekurangan di lapangan untuk mendukung jalannya persidangan secara efektif dan efisien.
Hemat penulis, setelah pandemi selesai diharapkan proses persidangan kembali menjadi persidangan konvensional. Meskipun kecerdasan buatan sangat membantu, kecerdasan manusia belum dapat tergantikan dalam dunia hukum. Memutus suatu perkara dibutuhkan keyakinan (sikap batin hakim) dan dalam berhukum pula terdapat berbagai faktor yang memengaruhi proses persidangan tersebut. Dalam mencari keadilan, melihat hukum tidak dari sudut pandang normatif saja (hanya berdasarkan undang-undang) melainkan harus pula melihat dari sudut pandang social legal.