Keadilan merupakan hal yang sangat diidam-idamkan oleh banyak orang karena untuk menuju kehidupan masyarakat yang teratur bisa ditempuh dengan ditegakkanya keadilan. Menjadi permasalahan bahwa sejatinya UU ITE dibentuk untuk menuju keadilan yang diinginkan malah ketidakadilanlah yang didapatkan.
Berdasarkan data yang dihimpun dari koalisi masyarakat sipil bahwa dalam kurun 2016-2020 UU ITE telah berhasil meningkatkan tingkat penghukuman atau conviction rate mencapai angka 96,8% (744 perkara) dengan pemenjaraan di angka (676 perkara) atau sebesar 88%. Hal ini terjadi karena implikasi dari masih berlakunya pasal-pasal karet dalam UU ITE. Pasal-pasal karet yang dimaksud di sini menurut beberapa sumber merujuk pada Pasal 26 Ayat (3), Pasal 27 Ayat (1), Pasal 27 Ayat (3), Pasal 28 Ayat (2), Pasal 29, Pasal 36, Pasal 40 Ayat (2a), Pasal 40 Ayat (2b), dan Pasal 45 Ayat (3).
Pasal-pasal yang telah disebutkan memicu banyak konflik-konflik baru bermunculan. Contoh kasus karena merasahkannya pasal-pasal di atas adalah kasus Baiq Nuril yang terjadi di tahun 2015 yang mana ia merekam percakapannya dengan kepala sekolah tempat ia bekerja ketika akan dilecehkan untuk dijadikan bukti. Naasnya, rekaman yang ia punya tersebar hinggga Baiq Nuril dilaporkan dengan dasar pasal 27 ayat 1 UU ITE. Pada tahun 2017 oleh Pengadilan Negeri Mataram ia divonis bebas. Namun, di tahun 2018 ia divonis bersalah dan dihukum enam bulan penjara dengan denda Rp.500 juta pada putusan kasasi.
Selanjutnya di tahun 2019 ia mengajukan upaya hukum peninjaun kembali ke Mahkamah Konstitusi tetapi tidak membuahkan hasil. Baru terbebas dari jerat hukuman pada Juli 2019 ketika Presiden Jokowi memberikan amnesty. Kasus Baiq Nuril ini hanyalah segelintir keresahan akan UU ITE dan masih banyak kasus-kasus lain yang turut mewarnai perjalanan ketika diberlakukannya UU ITE ini.
Menjadi sebuah kontemplasi ketika kebebasan berpendapat justru terkungkung dalam fatamorgana. Sebuah hak yang seharusnya bersifat asasi justru kehilangan spiritnya. UUD 1945 sebagai Staatsfundamentalnorm atau kaidah negara yang sifatnya fundamental telah memberikan pengakuan terhadap kebebasan berpendapat yang termaktub dalam pasal 28 I ayat 4. Namun, dalam implementasinya justru membuat kebebasan itu menjadi sangat dibatasi atau bahkan hampir tidak ada. Kritik-kritik yang diberikan pada pemerintah dijadikan bomerang untuk memenjarakan orang-orang yang mengkritik, seperti kasusnya Bambang Tri Mulyono dalam bukunya “Jokowi Undercover”.
Bukankah sebuah kritik itu sangat diperlukan untuk menilai kinerja pemerintah apakah masih sesuai dengan koridor atau justru keluar. Indonesia pun juga mengilhami adanya kedaulatan rakyat yang mana kedaulatan itu di tangan rakyat. Selanjutnya berimplikasi bahwa kedaulatan itu berasal dan dari rakyat. Hal inilah yang menjadi kebingungan dalam semua tatanan bangsa Indonesia karena ada beberapa ketentuan yang dianut di Indonesia justru saling bertentangan.
Dari sisi hukum, pasal-pasal yang telah disebutkan di atas juga terdapat kecacatan hukum. Untuk kali ini akan dibahas mengenai pasal yang paling banyak dilaporkan yakni pasal 27 ayat 1 dan 3 UU ITE. Bunyi pasal tersebut adalah :