Ramalan Jayabaya tertulis mengenai pembabakan zaman yang terbagi dalam tiga babak kehidupan, yaitu zaman kalawisesa (masa permulaan), kemudian zaman kalabendu (masa kekacuan atau chaos), dan ketiga adalah zaman kalasuba (zaman keemasan dengan pemulihan dan pencerahan). Peralihan menuju ke zaman kalabendu terjadi setelah zaman kalawisesa, ketika manusia saling mengenal dengan keilmuannya.
Zaman kalabendu ditampilkan dengan berbagai kekacauan yang terjadi dalam suatu masyarakat. Selain itu, digambarkan pula bahwa tata pemerintahan dan pembangunan-pembangunan laiinya seperti pada hukum, ekonomi, dan budaya cenderung menutup ruang serta peluang untuk menjamin, menghormati, juga memenuhi kebutuhan dasar manusia.
Jika ditarik ke belakang dan menafsirkannya, maka dapat dikatakan bahwa zaman kekacuan (zaman kalabendu) dimulai ketika kolonialisme Belanda datang dan menjajah Indonesia yang membuat keberadaanya menganggu masyarakat, terlebih keberadaan masyarakat hukum adat sendiri. Dalam perjalanannya, Belanda mencoba prinsip konkordasi terhadap hukum adat melalui kodifikasi dan unifikasi yang bertujuan untuk mewujudkan kepentingan ekonominya dalam rangka politik di Indonesia.
Namun, setelah bertahun-tahun lamanya dengan beberapa kali percobaan, semua upaya berakhir dengan kegagalan. Hal tersebut dikarenakan kebutuhan bangsa eropa yang merupakan lingkup kecil, tidak mungkin dapat menundukan bangsa Indonesia yang memiliki persebaran penduduk besar. Terjadinya titik balik dalam politik hukum adat tersebut merupakan suatu keberhasilan perjuangan di bawah pemikiran Van Vollenhoven di Belanda dan Ter Haar di Indonesia yang hendak melindungi dan mengembangkan hukum adat.
Setelah kemerdekaan yang diikuti adanya perubahan beberapa orde dengan secara konsisten dan aktif, pemerintahan merespon pelaksanaan kepastian hukum mengenai keberadaan hukum adat. Proteksi terhadap keberadaan hukum adat dalam tataran konseptual telah dijamin oleh konstitusi. Adanya pasal 18B Ayat (2) dan 28I Ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia 1945 serta Undang-Undang sektoral lainnya, telah berupaya memberikan pengakuan dan peghormatan terhadap keberadaan hukum adat. Pada dasarnya, pemerintah secara das sollen telah menjamin secara yuridis terselenggaranya sistem pemerintahan yang sejahtera, yaitu dengan memperjuangkan tercapainya pemenuhan hak konstitusional dan hak tradisional masyarakat hukum adat.
Tetapi, realitas ketimpangan antara das sollen dan das sein terkait penghormatan dan pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat termasuk hak tradisionalnya terjadi cukup jelas. Padahal Pasal 18B Ayat (2) menyatakan bahwa masyarakat hukum adat termasuk hak tradisionalnya, dihormati, dan diakui oleh negara sepanjang masih hidup dan diatur oleh undang-undang serta selaras dengan kehidupan yang tidak bertentangan dengan NKRI. Namun, tentunya tidak mungkin merumuskan pasal-pasal tersebut yang lahir sesudah amandemen tanpa kepentingan politik tertentu. Disatu sisi, negara menghormati dan mengakui keberadaan masyarakat hukum adat. Tetapi disisi lain, masyarakat hukum adat terbebani oleh syarat-syarat yang menjadikan berat dalam implementasinya.
Kesulitan implementasi juga disebabkan oleh kurangnya regulasi operasional yang dapat dilihat dari kebijakan kepala daerah dalam melalukan kewenangannya untuk penentuan masyarakat hukum adat masih kurang cukup legitimate jika dibandingkan dengan cakupan implementasinya. Tidak hanya itu, kesulitan implementasi semakin sulit, ditambah usulan yang dilakukan oleh masyarakat hukum adat terkadang tidak pernah dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, dengan alasan masyarakat hukum adat belum mempunyai legal standing yang legitimate.