Kehidupan masyarakat mulai beralih dari yang semula serba konvensional menjadi lebih modern. Kehidupan modern ini ditandai dengan bermunculnya penemuan-penemuan baru dalam bidang teknologi sehingga memudahkan tiap-tiap masyarakat saling berinteraksi. Saat ini, pemaknaan modern sudah di tahap betapa pentingnya peran internet dalam sendi-sendi kehidupan atau bisa disebut digitalisasi kehidupan.
Indonesia pun juga turut serta di dalamnya dengan kehidupan masyarakat Indonesia tidak bisa yang tidak dilepaskan dengan teknologi digital meski hanya untuk hal-hal sepele, misalnya berbelanja. Namun, seiring berkembangnya teknologi digital ini tentunya menimbulkan bentuk-bentuk kejahatan baru di dalamnya. Hal inilah yang menginisasi pemerintah untuk membentuk suatu ketentuan hukum untuk memberikan perlindungan dengan dibentuknya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau biasa disebut UU ITE.
UU ITE mulai berlaku di tahun 2008 dan sejak saat itu menjadi topik yang masif diperbincangkan banyak pihak ketika eksistensinya digunakan sebagai senjata untuk memidanakan orang lain. Banyak problematika bermunculan sejak UU ITE dibentuk. Mulai dari salah sasaran, digunakan sebagai dalih untuk mengekang kebebasan berekspresi, dan masih banyak lainnya. UU ITE digadang-gadang menjadi cyberlawnya Indonesia untuk mewujudkan arah perkembangan hukum yang lebih baik ke depannya menuju masyarakat mengglobal. Mengingat semakin berkembangnya kriminalitas yang tidak lagi dapat digunakan hukum konvensional, UU ITE pada awalnya memberikan secercah harapan bagi masyarakat dengan memberikan perlindungan bagi kehidupan digital.
Secara normatif, UU ITE adalah suatu produk hukum pembuat undang-undang sebagai alat kontrol sistem informasi dan transaksi elektronik. Sejak diumumkan mulai berlakunya ketentuan UU ITE, beberapa aspek undang-undang ini sudah cukup memberikan penyelesaian terkait beberapa kejahatan dunia maya atau cybercrime, misalnya tindakan penipuan via internet. Tetapi layaknya seperti dua sisi mata uang, UU ITE memiliki sisi kecacatan baik secara materi, hukum, dan implementasinya.
Hal inilah yang mendorong untuk dilakukan perubahan UU ITE guna menjamin tetap dilindunnginya kebutuhan masyarakat. Perubahan yang dimaksud menghasilkan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008. Meskipun telah dilakukan perubahan, UU ITE yang terakhir masih belum bisa mengakomodir kebutuhan masyarakat. Masih banyak masyarakat yang terbebani oleh beberapa ketentuan pasal dari undang-undang ini.
Masyarakat menganggap bahwa UU ITE yang baru itu masih tetap memiliki celah hukum yang merugikan. Adanya pasal karet dengan multitafsirnya beberapa ketentuan dalam UU ITE dan law enforcement yang masih belum sesuai turut mewarnai keresahan masyarakat akan undang-undang ini. Hal inilah yang mendorong masyarakat untuk melaporkan dan mendesak sang pembuat undang-undang melakukan perubahan untuk kedua kalinya.
Perubahan yang kedua mulai bergulir ketika Presiden Jokowi dalam kegiatannya memberikan pengarahan pada pimpinan TNI dan Polri di Istana Negara. Presiden Jokowi menyatakan bahwa keadilan adalah sasaran utama dalam tujuan dibentuknya UU ITE. Jika undang-undang ini belum memberikan nyawa keadilan dalam bermasyarakat, maka masih dimungkinkan adanya ruang untuk dilakukan perubahan. Terkait makna keadilan itu sendiri memang masih bias karena sejatinya keadilan itu memiliki banyak pemaknaan tergantung dalam konteks apa. Namun, apabila dapat dirumuskan sendiri mudahnya keadilan itu adalah keadaan di mana suatu keadaan setimbang antara suatu komponen dengan komponen lainnya. Hal inilah yang tersirat dalam patung seorang dewi yang sedang memegang timbangan yang menunjukkan keadaan setimbang antara dua sisi.