Kelebihan Sidang Virtual
Perkembangan teknologi yang sangat masif ditambah lagi dengan virus korona yang belum melandai, dunia hukum Indonesia harus berani beradaptasi dengan realitas perkembangan teknologi yang kian berkembang. Jika tidak, dunia hukum Indonesia akan jauh ketinggalan.
Sistem hukum civil law yang dianut Indonesia sangat mengedepankan hukum tertulis berupa peraturan perundangan-undangan. Sistem ini akan membuat hukum jauh tertinggal dari perkembangan masyarakat. Hukum tidak boleh kaku menerimakehendak perubahan. Setidaknya, ada beberapa kelebihan sidang virtual. Pertama, bagi pencarikeadilan dapat menghemat biaya. Ia tak perlu lagi datang ke pengadilan. Ke pengadilan tentu akan membutuhkan uang transportasi. Hal ini sangat membantu pencari keadilan. Kedua, waktu lebih singkat. Pencari keadilan tidak perlu ke pengadilan karena persidangan dapat dilakukan dari jarak jauh (virtual).
Ketiga, bagi penegak hukum (advokat) akan dapat pula menghemat waktu karena tidak perlu datang ke pengadilan. Persidangan dapat dilakukan di LP (kasus pidana) atau advokat dapat pula berada di rumahnya. Dalam sidang TUN misalnya agenda jawab-menjawab telah dilakukan secara elektronik. Untuk bukti surat dan saksi yang masih diperiksa secara konvensional.
Keempat, sidang virtual adalah penerapan asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Dalam KUHAP asas ini sangat berguna bagi tersangka atau terdakwa karena segera mendapat pemeriksaan dari penyidik, segera diajukan kepada penuntut umum oleh penyidik, segera diajukan ke pengadilan oleh penuntut umum dan segera diadili oleh persidangan (M. Yahya Harahap, 2014: 52). Dengan kata lain, sederhana adalah birokrasinya tidak rumit dan tidak berbelit, cepat adalah dapat diperhitungkan jangka waktunya sehinga tidak berlarut-larut, biaya ringan adalah terpikul biayanya oleh pencari keadilan.
Kelima, sidang virtual akan mengurangi intensitas pertemuan antara advokat, hakim dan jaksa (persidangan pidana) atau antara advokat dengan hakim (dalam perkara TUN). Sidang konvensional aparat penegak hukum akan lebih kerap bertemu sehingga inilah yang sering menyebabkan terjadinya kongkalingkong (mafia) di lembaga peradilan.
Mafia peradilan bukan lagi isu karena sudah terang benderang dalam praktik penegakan hukum kita di Indonesia. Sehingga dengan kurangnya intensitas pertemuan itu maka praktik mafia peradilan dapat dikurangi. Putusan yang adil dapat diharapkan pencari keadilan. Upaya hukum banding dan kasasi dapat dikurangi karena pencari keadilan sudah merasakan putusannya adil.
Tantangan Komisi Yudisial
Perubahan cara berhukum dalam praktik penegakan hukum Indonesia yang semula dilakukan secara konvensional (persidangan tatap muka) yang akhir-akhir ini harus menyesuaikan dengan perubahan zaman yang dilakukan secara virtual. Merupakan tantangan bagi KY selaku penjaga etika hakim. Ditambah lagi dengan KY tidak mempunyai kekuatan eksekutorial dan hanya kewenangan rekomendasi. Banyak rekomendasi lembaga itu yang tidak diindahkan MA. Padahal, kewenangannya diatur dalam UUD NRI Tahun 1945. Akan tetapi rekomendasinya banyak yang tidak dilaksanakan MA.
Lembaga peradilan tak dapat mengelak dari digitalisasi peradilan yang kian maju dan berkembang. Penulis berpandangan, bagi peradilan ini sangat baik karena ia menawarkan kemudahan-kemudahan bagi pencari keadilan, penegak hukum dan mengurangi praktik mafia hukum di lembaga peradilan.
Akan tetapi, bagi KY ini adalah sebuah tantangan. Lembaga penjaga etika itu selama ini melakukan monitoring persidangan secara manual. Saat ini, lalu lintas persidangan dilakukan secara virtual dan tak lagi konvensional. Karena persidangan ini menggunakan platform digital, KY harus menggunakan platform digital dalam memantau dan memonitoring persidangan. Ke depan, tak dapat lagi dilakukan secara konvensional. Lembaga yang diawasi (peradilan) sudah berubah, maka lembaga yang mengawasi (KY) juga harus berubah.
KY harus menggunakan paltform digital itu dalam melakukan pengawasan. Hal itu disebabkan persidangan saat ini dan ke depan akan lebih banyak menggunakan perangkat teknologi digital. Pengawasan konvensional akan dinilai ketinggalan zaman di masa mendatang.
Akhirnya, sekali lagi KY pun harus berbenah. Di tengah digitalisasi peradilan, KY harus mampu menjaga kode etik dan pedoman perilaku hakim (KEPPH). Mampukah KY melakukannya ditengahperubahan cara berhukum Indonesia saat ini? Hanya waktulah yang dapat menjawabnya. Semoga.