Hukum Pidana yang adalah suatu peraturan yang menentukan perbuatan apa yang dilarang serta diatur juga mengenai sanksi atau hukumannya ketika melanggar peraturan yang telah dibuat. Hukum pidana pada awalnya dikenal sebagai pertanggungjawaban pidana bagi seorang pelaku yang melanggar dalam norma dalam undang-undang pidana itu sendiri. Dalam perkembangan zaman dirasakan bahwa ada kebutuhan untuk memidana setiap orang alias siapa saja yang terlibat dalam suatu tindak pidana, baik itu turut serta atau hanya memiliki peran sebagai pembantu dalam suatu tindak pidana, hingga pada sekarang ini korporasi pun dijadikan sebagai subjek hukum tindak pidana yang dapat bertanggungjawab secara pidana. Selain itu, Hukum Pidana juga merupakan hukum yang mengikuti perkembangan zaman, dimana sejarah dari adanya hukum pidana yang berlaku di Indonesia yang salah satunya KUHP ini bermula dari zaman penjajahan yang sebelumnya tidak ada hukum tertulis yang mengatur masyarakat melainkan hukum pidana adat yang berbeda di setiap wilayah. Kemudian, pada saat zaman penjajahan oleh Belanda pada Tahun 1596 mulai dikenalkan Hukum Privat dan Hukum Pidana. Hukum Pidana tersebut diatur dalam Kitab Hukum Pidana diambil dari Kode Penal Perancis yang oleh Belanda dibuat dan dipisahkan untuk bangsa Indonesia asli serta Timur Asing. Setelah itu dilakukan unifikasi hukum pidana yang dibuat oleh Belanda di seluruh wilayah Indonesia, yang sekarang bernama KUHP. Pada zaman penjajahan dari Jepang di Indonesia tidak pernah mencabut berlakunya KUHP. Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945 dan diberlakukannya UUD 1945 hingga sekarang belum dilakukan perubahan terhadap KUHP yang dimana KUHP tersebut adalah warisan Belanda yang masih berlaku di seluruh wilayah Indonesia.
Oleh sebab itu, dianggap bahwa aturan pidana peninggalan Belanda tersebut sudah tidak relevan serta tidak dapat lagi menampung berbagai masalah yang terjadi. Sehingga perlu dilakukan perubahan yang diakibatkan akan adanya perkembangan bangsa Indonesia, serta mengingat keberlakuan KUHP tersebut dibuat pada saat Indonesia dibawah penjajahan Belanda yang dianggap masih kaku dan tidak mengikuti perkembangan zaman. Dimana diharapkan dari perubahan tersebut dapat memenuhi dan menyesuaikan nilai-nilai dalam masyarakat Indonesia sesuai dengan sistem hukum yang dianutnya, terlebih juga memperhatikan ketentuan hukum pidana adat yang berlaku di setiap wilayah. Selain itu, perubahan dari Hukum Pidana warisan Belanda tersebut juga harus bersumber pada Pancasila yang merupakan dasar negara dan UUD 1945 yang adalah sumber dari segala sumber hukum yang juga menjadi landasan nilai-nilai kehidupan bangsa Indonesia.
Disamping dari diperlukan perubahan KUHP tersebut, dengan adanya dinamika yang terjadi di masyarakat lalu perkembangan zaman dan teknologi yang semakin canggih, hal ini mengakibatkan perubahan kegiatan kehidupan manusia serta melahirkan jenis-jenis tindak pidana yang baru. Seperti dengan berkembangnya teknologi dan memasuki revolusi 4.0 yang sebelumnya tidak terpikir oleh pembuat KUHP dikarenakan pada saat itu belum berkembangnya teknologi, maka diterbikannya Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang latar belakangnya adalah dengan adanya perkembangan teknologi dan informasi, maka harus dikembangkan juga peraturan yang mengatur hal tersebut agar dapat tetap mewujudkan kesejahteraan masyarakat serta mencegah adanya penyalagunaan. Dalam UU ITE ini juga mengatur perbuatan yang dilarang serta sanksinya ketika melanggar perbuatan tersebut, seperti salah satunya dalam Pasal 27 Ayat 1 menyatakan bahwa “setiap orang dilarang dengan sengaja tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan,” maka oleh Pasal 45 Ayat 1 akibat ketika melanggar ketentuan ini adalah dipidana penjara paling lama 6 enam tahun dan/atau pidana denda paling banyak satu milyar. Kemudian, dengan berkembangan pembangunan nasional termasuk di dalamnya perkembangan transportasi yang adalah bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umum maka perlu diatur agar tetap terwujudnya keamanan, keselamatan, kelancaran, serta ketertiban. Oleh sebab itu, maka diterbitkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dimana salah satu ketentuan pidana yang mengatur adalah Pasal 310 Ayat 1 dimana “Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).”
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa dengan adanya undang-undang yang merevisi undang-undang sebelumnya atau undang-undang baru yang mengatur hal yang sebelumnya tidak diatur dalam KUHP dapat dibuktikan bahwa kehidupan masyarakat berubah seiring berjalannya waktu, khususnya dalam perbuatan dalam ranah hukum pidana. Mulai dari kejahatan yang pada zaman dahulu tidak menggunakan alat elektronik, hingga sekarang ini kejahatan elektronik lah yang marak terjadi sehingga diperlukan produk hukum yang mengatur agar tercipta ketertiban dalam bermasyarakat. Akibat akan adanya perkembangan bangsa Indonesia, maka seharusnya aturan pidana peninggalan Belanda (KUHP) perlu dilakukan perubahan dikarenakan sudah tidak relevan dan tidak dapat lagi menampung berbagai masalah yang terjadi, serta mengingat keberlakuan KUHP tersebut dibuat pada saat Indonesia dibawah penjajahan Belanda yang dianggap masih kaku. Ketika melakukan perubahan KUHP, maka harus bersumber pada Pancasila yang merupakan dasar negara dan UUD 1945 yang adalah sumber dari segala sumber hukum yang juga menjadi landasan nilai-nilai kehidupan bangsa Indonesia. Serta hukum pidana tersebut dapat berguna dalam melindungi masyarakat dan negara.