Perbedaan mendasar dari kedua sistem hukum tersebut ialah terletak pada sumber hukumnya. Di negara-negara dengan Common Law System, sumber hukum satu-satunya adalah Yurisprudensi (Putusan Hakim/ Putusan Pengadilan). Sehingga pada negara dengan Common Law System, seorang hakim dapat mencipta hukum (Judge Made Law). Hakim mencipta hukum melalui putusan pengadilan. Di negara-negara dengan Common Law System ini juga berlaku asas Binding of Precedent, yakni putusan hakim sebelumnya wajib diikuti oleh hakim-hakim lain yang menangani perkara yang sama. Contoh negara yang menganut Common Law System diantaranya ialah Inggris serta negara bekas jajahannya, seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia, India, Malaysia, serta Singapura.
Sedangkan pada negara-negara dengan Civil Law System, sumber hukum satu-satunya ialah Undang-Undang. Sehingga di negara dengan Civil Law System, berlaku paham Legisme atau Positivisme yang menyatakan bahwa Undang-Undang telah mengatur semua hal atau kejadian yang ada di masyarakat, sehingga di luar Undang-Undang tidak ada hukum. Atau singkatnya, paham legisme menegaskan bahwa semua hukum terdapat di dalam Undang-Undang. Sehingga hakim dalam memutus perkaranya harus didasarkan pada Undang-Undang (Hakim berperan sebagai corong dari Undang-Undang). Contoh negara-negara dengan Civil Law System diantaranya ialah Belanda serta negara bekas jajahannya, termasuk Indonesia.
Namun apakah di negara-negara dengan Civil Law System, seorang hakim tidak dapat mencipta hukum?
Jawabannya ialah seorang hakim di negara dengan Civil Law System, masih dapat mencipta hukum, namun dengan catatan asas Binding of Precedent tidak berlaku. Hal ini dikarenakan di dalam perkembangannya, tidak ada satupun negara yang menganut salah satu sistem hukum secara ekstrim atau murni. Yang terjadi ialah sistem hukum kombinasi. Misal di Indonesia, yang menganut Civil Law System, seorang hakim memiliki peran sebagai corong Undang-Undang di dalam memutus perkaranya. Peran hakim sebagai corong Undang-Undang berlaku pada saat hukum dalam suatu perkara tersebut ada, dan tidak kabur. Sehingga perkara tersebut dapat diperiksa di pengadilan.
Namun bagaimana apabila hukumnya tidak ada atau kabur?