Pada praktiknya, asas Praduga Tidak Bersalah ini sering tidak dapat diwujudkan dalam ranah praktik. Sebaliknya, dalam penerapannya, kadang menjadi Praduga Bersalah, berdasarkan pengamatan Penulis saat menghadiri pemeriksaan persidangan perkara unjuk rasa di Pengadilan Negeri Kabupaten inisial C, asas ini tidak diterapkan dalam mengadili lima terdakwa unjuk rasa.
Hal ini dapat dilihat ketika pemeriksaan saksi yang dilakukan oleh hakim, dan saksi tersebut merupakan korban dari unjuk rasa yang terluka, ketika memberikan keterangan, saksi menangis karena fisiknya yang terluka, setelah pemeriksaan saksi itu telah selesai hakim menanyakan dan menganjurkan kepada para terdakwa, apakah para terdakwa mau minta maaf tidak?
Lalu ketika para terdakwa menuruti dan meminta maaf kepada korban, hakim mengatakan “coba kalau kalian ada di posisi korban, bagaimana rasanya? Kasihan kan.” Perkataan tersebut seakan-akan memberlakukan terdakwa seperti seorang yang sudah bersalah melakukan suatu tindak pidana.
Padahal, para terdakwa diadili untuk dibuktikan kesalahannya, bersalah atau tidak, sedangkan para terdakwa sendiri merupakan lima orang yang ditangkap dari ratusan orang yang melakukan unjuk rasa, yang diduga mengakibatkan terlukanya korban yaitu salah satu aparat penegak hukum. Artinya, para terdakwa ini patut diduga dan harus dibuktikan di pengadilan, tetapi saat di pembuktian hakim memberlakukan terdakwa seperti orang yang sudah bersalah.
Jika seperti itu, untuk apa hakim mengadili perkara? Sudah saja diwakilkan penuntut umum, jika sudah terjadi seperti itu, toh nantinya putusan pasti akan mengabulkan tuntutan penuntut umum. Hakim tersebut tidak hanya melanggar asas praduga tidak bersalah melainkan asas fair trial sebagaimana keduanya diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, lalu perbuatan tersebut juga melanggar kode etik seorang hakim yaitu Berprilaku Adil dan Bersikap Profesional.
Asas Praduga Tidak Bersalah merupakan prinsip yang harus diterapkan dalam mengadili perkara pidana. Dalam hal ini, penulia bukan berpihak kepada para terdakwa. Melainkan, penulis mengkritisi mekanisme persidangan yang menyimpang dari hukum dan merugikan terdakwa. Jika asas Praduga Tidak Bersalah sering dikesampingkan, terdakwa akan selalu dirugikan yang artinya terdakwa sudah pasti akan dinyatakan bersalah. Pada sisi lain, bersalah atau tidaknya terdakwa adalah tergantung putusan hakim.