Pertama, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam KUHP, kekerasan seksual terbatas hanya pada dua bentuk yakni perkosaan dan pencabulan, dimana hal tersebut belum mampu mencakup berbagai bentuk kekerasan seksual yang ada saat ini. Ketiadaan rumusan spesifik dari bentuk kekerasan seksual dalam KUHP menjadi penyebab timbulnya kebingungan (kekacauan) dalam masyarakat mengenai aturan apa yang harus diterapkan, sehingga mendorong terjadinya ketiadaan hukuman (impunitas) terhadap pelaku kekerasan seksual. Selain itu, dalam penerapannya KUHP lebih cenderung digunakan untuk kasus kekerasan seksual yang bersifat fisik (nyata) dan tidak digunakan dalam kasus yang bersifat digital seperti KBGO.
Kedua, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. UU ini diwarnai oleh kontroversi, terutama pada ketentuan Pasal 1 ayat (1) mengenai definisi pornografi. Definisi dan batasan-batasan pelanggaran pornografi dalam UU tersebut tidak memiliki pakem atau batasan yang jelas. Terbukanya penggunaan definisi pornografi yang multitafsir tersebut menimbulkan persoalan yang muncul pada tahap teoritis dan berimplikasi pada tahap praktis. Hal ini berimpilkasi pada munculnya ketidakpastian hukum bagi korban KBGO, pada akhirnya penerapan undang-undang tersebut tidak memenuhi rasa keadilan di masyarakat.
Regulasi hukum terakhir yang paling sering digunakan dalam kasus KBGO yakni Pasal 27 ayat (1) juncto Pasal 45 UU ITE. Pasal ini menyebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan informasi elektronik dengan muatan yang melanggar kesusilaan dikenakan pidana. Walaupun banyak korban KBGO yang terbantu oleh Pasal 27 ayat (1) juncto Pasal 45 UU ITE, namun pada kenyataannya tak sedikit juga korban yang merasa dirugikan lantaran pasal tersebut disalahgunakan dan malah menjadi boomerang bagi para korban, karena berbalik menyerang korban yang seharusnya dilindungi. Terjadinya hal tersebut diakibatkan karena tidak terdefinisikan secara jelas mengenai kasus kekerasan seksual yang melatarbelakangi dalam pelanggaran pasal tersebut. Ketentuan pasal tersebut hanya mensyaratkan pada adanya unsur subjektif tindak pidana yang berupa bentuk kesengajaan dan tanpa hak. Padahal, seharusnya tidak hanya mempertimbangkan masalah pendistribusian informasi elektronik asusila semata, akan tetapi juga harus mendalami soal motif penyebarluasan informasi.
Berdasarkan hasil analisis yang sudah dipaparkan di atas, peraturan hukum di Indonesia saat ini masih belum mampu mengakomodasi secara baik tindak KBGO. Hal ini dikarenakan masih terbatasnya jenis kekerasan seksual, maupun karena tidak adanya kepastian hukum yang akhirnya melahirkan rasa ketidakadilan dan tidak terlindunginya hak-hak para korban. Dalam proses terciptanya rasa keadilan, keamanan serta ketenteraman yang merupakan harapan dari setiap masyarakat diperlukan suatu aturan hukum yang mampu menjadi payung dalam mengatasi permasalahan tersebut. Hadirnya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) merupakan sebuah terobosan dalam bentuk produk hukum untuk memberi jaminan perlindungan dan kepastian hukum bagi korban kekerasan seksual dalam jangkauan yang lebih sempurna.
RUU PKS dibentuk berdasarkan pada pendekatan yang lebih sering dikenal sebagai Feminist Jurisprudence. Teori hukum yang berperspektif pada perempuan dengan menggunakan metode penggalian apa yang dibutuhkan, apa yang diinginkan oleh perempuan dan pertimbangan segala pengalaman konkret dan unik dari perempuan. Definisi kekerasan seksual dalam RUU PKS pun telah memuat relasi kuasa, relasi gender, paksaan bahkan tipu muslihat. Bahkan sembilan jenis kekerasan seksual yang diakomodasi dalam RUU PKS sangat komprehensif dan memadai untuk dapat menutupi kekosongan hukum di dalam KUHP yang hanya mengatur soal perkosaan dan pencabulan. Sebab RUU PKS merupakan ketentuan khusus (lex specialist) dari KUHP. Dengan demikian korban KBGO dapat menggunakan jenis kekerasan seksual yang sesuai yakni pelecehan seksual ataupun eksploitasi seksual.