Apa yang terbesit di benak kita jika mendengar kata “peradilan” ? banyak dari kita yang pikirannya akan tertuju kepada hakim, jaksa, pengacara, dan terdakwa. Memang demikianlah situasi yang digambarkan dalam berita, film, atau cerita tentang peradilan, sehingga timbullah sebuah persepsi yang menganggap bahwa peradilan dan pengadilan adalah sama.
Padahal, keduanya adalah dua hal yang berbeda tetapi tidak dapat dipisahkan, layaknya dua sisi dalam mata uang. Peradilan adalah proses yang dijalankan di pengadilan yang berhubungan dengan tugas memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu perkara dengan menerapkan hukum maupun melakukan penemuan hukum, untuk menjamin ketaatan terhadap ketentuan hukum materiil, sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan dalam hukum formil (Pengadilan Negeri Tanah Grogot, 2015). Pengadilan merujuk pada badan/instansi resmi yang melaksanakan sistem peradilan di atas (Pengadilan Negeri Tanah Grogot, 2015).
Peradilan merupakan sebuah sistem, artinya terdapat unsur-unsur yang saling terpadu dan bekerja untuk mencapai suatu tujuan. Misalnya dalam sistem peradilan pidana, terdapat sekurang-kurangnya empat instansi yang saling terkait, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan. Sistem peradilan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh sistem hukum Civil Law, hal ini disebabkan oleh sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan bekas jajahan dari negara Belanda yang notabene menganut tradisi hukum Civil Law.
Berdasarkan asas konkordansi, maka sistem hukum yang ada di negara Belanda diterapkan di wilayah jajahannya, salah satunya di Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Dalam tradisi hukum civil law, sumber hukum yang utama adalah undang-undang dan dalam proses persidangan, hakim adalah majelis bukan hakim tunggal layaknya di negara yang menganut sistem hukum Common Law.
Akibatnya, hakim dalam menjalankan proses peradilan benar-benar terikat pada undang-undang, sehingga sumber hukum lain seperti kebiasaan, treaty, yurisprudensi, dan doktrin hanyalah merupakan sumber hukum sekunder. Inilah sebabnya, mengapa peradilan adat di beberapa daerah di Indonesia masih dipertahankan, sebab dalam menyelesaikan masalah yang merupakan bentuk pelanggaran terhadap ketentuan hukum adat, kadang masalah tersebut belum diatur di dalam undang-undang. Maka dalam menyelesaikan sengketa maupun perkara tersebut, masyarakat mengandalkan sistem peradilan adat.
Terkait dengan peradilan adat, kita teringat pada film “Bumi Manusia” yang dibintangi aktor Iqbal Ramadhan. Film tersebut memperlihatkan pembedaan sistem peradilan yang dialami oleh Minke, Nyi Ontosoroh dengan Anelis Mellema. Nyi Ontosoroh dan Minke yang berbeda kasta diperlakukan berbeda adalah keduanya adalah pribumi yang diadili menurut hukum adat dengan sistem peradilan rakyat, sedangkan bagi Annelis Mellema yang adalah keturunan Eropa, diadili menurut peradilan Eropa.