Sebagai individu yang berkecimpung di dunia hukum, film tersebut bukan hanya menyoroti kisah percintaan kisah cinta Minke dan Annelis, melainkan juga memberikan pesan sejarah bahwa sebelum tahun 1970an, di Indonesia dikenal sistem peradilan adat. Sejak adanya UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagai langkah unifikasi di bidang peradilan, maka secara de jure peradilan adat di Indonesia telah hapus pasca dikeluarkannya UU tersebut.
Pada tahun 2000, amandemen tahap dua dilakukan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), dengan adendum (penyisipan) ketentuan Pasal 18B ayat (2) yang pada intinya mengatur bahwa mengakui dan menghormati masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya. Sejak adanya Pasal 18B, eksistensi masyarakat adat semakin meningkat, tak terkecuali hak-haknya dalam menerapkan dan menegakan hukumnya, termasuk menjalankan sistem peradilan adat, yang tentu perlu juga disesuaikan dengan perkembangan masyarakat dan tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Terkait dengan peradilan adat, pada 4 Februari 2021 lalu Lembaga Adat Besar Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur yang berwenang menjalankan sistem peradilan adat khusunya bagi masyarakat adat suku Dayak Tonyooi, menjatuhkan sanksi berupa denda adat sebesar Rp.1.648.000.000 yang setara dengan 4.120 buah antangk kepada M. Munawir, yang merupakan pelaku pembunuhan terhadap adelin Sumual, seorang gadis dari Suku Dayak Tonyooi yang tinggal di Kecamatan Linggang Bigung. Selain membayar denda, pelaku juga wajib membayar biaya penanganan upacara kematian bagi korban sebesar Rp.250.000.000., pelaku diberikan jangka waktu enam bulan untuk membayar denda dan biaya upacara adat tersebut.
Sanksi adat tersebut diberikan bukan semata-mata untuk membalas dendam, melainkan memiliki tujuan tersendiri. Upacara kematian Paramp Api dan Kenyau Etus Asangk yang dilaksanakan bertujuan untuk mengantarkan arwah dari Madelin menuju tempat peristirahatan yang layak. Sedangkan denda adat bertujuan untuk meredam emosi masyarakat dan mencegah terjadinya konflik di dalam masyarakat. Kabupaten Kutai Barat sendiri dikenal sebagai Kabupaten yang “BERADAT”, sehingga nilai-nilai kearifan lokal senantiasa dipelihara dengan tujuan melindungi segenap warga masyarakat yang ada di Bumi Tanaa Purai Ngeriman tersebut.
Bapak Hukum Adat Indonesia, Prof. Mr. Cornelis Van Vollenhoven memaparkan bahwa di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) terdapat 19 lingkungan hukum adat, di mana setiap wilayah memiliki karakteristik tersendiri (Sigit Sapto N., 2016 : 65). Apabila merujuk kepada riset dari Van Vollenhoven, Dayak Tonyooi merupakan bagian dari lingkungan masyarakat adat Kalimantan, bersama dengan beberapa sub suku Dayak yang lain.
Peradilan adat yang diselenggarakan oleh Lembaga Adat Besar Kabupaten Kutai Barat merupakan contoh konkrit bahwa hukum adat sangat dijunjung tinggi penegakannya oleh masyarakat adat di Kutai Barat. Sidang adat yang diselenggarakan bukan sekedar bertujuan menjatuhkan sanksi bagi pelaku, melainkan bertujuan mendamaikan para pihak yang bertikai, yakni antara keluarga pelaku dengan keluarga Madelin Sumual sebagai korban. Selain itu, sidang adat ini diharapkan meredam emosi masyarakat yang dapat berujung pada isu suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA).
Sidang dilaksanakan dengan melibatkan enam orang hakim adat dan dipimpin oleh Manar Dimansyah Gamas, Ketua Lembaga Adat Besar Kutai Barat, pihak keluarga korban dan keluarga pelaku, Kepolisian Resort Kutai Barat, Paguyuban Etnis Madura, perwakilan paguyuban etnis lain di Kutai Barat, dan segenap tokoh masyarakat.