“Setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”.
Dengan ditujukan untuk dapat meningkatkan posisi tawar konsumen dengan pelaku usaha, pencantuman klausula baku memiliki beberapa larangan sebagai legal basis, agar jangan sampai pelaku usaha beritikad buruk menggunakan statusnya yang cukup tinggi untuk dapat mencari keuntungan secara sepihak tanpa mengindahkan tanggung jawab hukum yang harusnya melekat pada diri pelaku usaha. Hal tersebut dapat dilihat pada ketentuan pada Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 yang terdiri dari beberapa larangan pencantuman klausula baku oleh pelaku usaha, sehingga menghindarkan juga klausula baku tersebut menjadi bersifat eksonerasi.
Menurut Rijken mendefinisikan klausula eksonerasi sebagai klausula yang dicantumkan dalam suatu perjanjian atau kontrak dengan mana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melanggarkan.
Bila ditinjau lebih lanjut klausula eksonerasi justru tidak mengedepankan cita-cita dari pada Undang-Undang Perlindungan Konsumen sendiri untuk menciptakan iklim usaha yang sehat antara konsumen dengan pelaku usaha. Sebaliknya apabila dalam suatu perjanjian kedudukan para pihak tidak seimbang, maka konsumen yang berposisi sebagai pihak yang lemah tidak berada dalam keadaan yang betul-betul bebas, dengan demikian hal tersebut memberikan bagi pihak pelaku usaha yang berposisi lebih kuat untuk dapat menghilangkan tanggung jawabnya. Selain itu tindakan yang dilakukan oleh pelaku usaha tersebut masuk ke dalam ranah penyalahgunaan keadaan dalam kontrak sebagaimana yang tercantum pada Pasal 1321 KUHPdt, sehingga sangat berpotensi terjadinya sengketa.
Upaya yang dapat dilakukan konsumen sebagai langkah preventif untuk menghindari klausula eksonerasi dengan melakukan peninjauan secara objektif dan kritis terkait klausula baku yang ditawarkan, apakah sudah menghindari klausula baku yang dilarang sebagaimana dimaksud pada Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999. Selain itu terdapat upaya hukum yang dilakukan oleh pihak konsumen apabila sudah terikat dengan klausula baku yang tidak menguntungkan pihak konsumen. Hal tersebut merujuk pada peran LPKSM, seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia atau disingkat YLKI sebagai lembaga swadaya masyarakat yang berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen.
Sebagai lembaga non Pemerintah, YLKI bertugas untuk dapat membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya termasuk menerima keluhan atau pengaduan, sebagaimana yang tercantum pada Pasal 44 ayat (3) huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999. Keluhan atau pengaduan tersebut, termasuk dalam hal terjadinya penyalahgunaan keadaan dalam suatu kontrak baku yang ditawarkan oleh pelaku usaha maupun yang sudah terikat dengan kontrak tersebut. Dengan terdapat forum ini cukup menegaskan bahwa secara konsep Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberikan perlindungan hukum yang representatif terhadap konsumen yang memiliki posisi tawar yang lemah, oleh karena itu perjanjian baku ditawarkan oleh pihak pelaku usaha diharap tidak menciderai nilai dari perlindungan konsumen itu sendiri.