Perjanjian merupakan sesuatu yang lumrah terjadi dalam suatu bentuk hubungan hukum yang dilakukan individu atau badan hukum. Alasan yang mendasar daripada keinginan para pihak dalam melakukan hubungan hukum, tentunya di dasarkan dengan adanya kepentingan yang tercerminkan dalam kehendak setiap pihak.
Untuk dapat mengakomodir setiap kepentingan para pihak, rangkaian negosiasi atau tawar-menawar menjadi alternatif tersendiri bagi para pihak berkontrak dalam menyelaraskan setiap keinginan yang akan dicantumkan dalam klausul kontrak.
Namun dalam praktiknya tidak selalu perjanjian diawali dengan adanya negosiasi terlebih dahulu, banyak sekali dalam suatu konsep hutang-piutang atau pinjam-meminjam perjanjian sudah dibuat oleh salah satu pihak tertentu, tanpa mengindahkan tawaran dari pada pihak lawan berkontrak, hal tersebut disebut dengan perjanjian baku.
Abdulkadir Muhammad menyatakan bahwa perjanjian baku diartikan sebagai dari istilah asing yang berarti standard contract. Dengan kata lain sebagai suatu perjanjian yang dibuat oleh salah satu pihak dari segi bentuk maupun klausul, sehingga pihak lawan berkontrak tinggal menerima atau tidak menerimanya (take it or leave it) perjanjian tersebut.
Memang perjanjian baku tidak sama sekali mengindahkan asas kebebasan berkontrak, tetapi secara definitif tersendiri perjanjian baku diakui secara hukum dengan merujuk pada Pasal 1493 yang menyatakan:
“Kedua belah pihak, dengan persetujuan-persetujuan istimewa boleh memperluas atau mengurangi kewajiban yang ditetapkan oleh undang-undang Indonesia dan bahkan mereka boleh mengadakan persetujuan bahwa penjual tidak wajib menanggung sesuatu apapun”.
Akan tetapi pasal tersebut tidak bersifat tunggal, terdapat Pasal 1494 KUHPdt yang tetap membatasi pihak penjual untuk tetap tidak menghilangkan tanggung jawabnya dalam hubungan hukum tersebut, yang mana apabila tidak dilaksanakan akan memberikan konsekuensi permbatalan perjanjian.
Sebagai suatu produk hukum yang ditawarkan oleh pihak berkontrak. Eksistensi perjanjian baku sendiri sudah dikenal oleh masyarakat luas, terutama pihak perbankan atau lembaga pembiayaan yang selalu menawarkan perjanjian kredit yang sudah ditentukan oleh mereka yang berkapasitas sebagai kreditur, dilain pihak debitur tidak dapat melakukan penawaran terkait perjanjian kredit yang ditawarkan.
Fakta di lapangan sudah sedemikian rupa banyak terjadi di dunia perbankan. Tidak bermaksud untuk menghilangkan esensi negosiasi dalam suatu perancangan kontrak, tetapi merupakan bagian dari langkah efisensi bisnis yang sudah menjadi kebiasaan yang dilakukan dalam dunia bisnis terutama pembiayaan atau permodalan Di sisi lain timbul pertanyaan yang cukup mendasar, tentang sejauh manakah konsep dari pada perlindungan hukum yang diberikan, apabila debitur dihadapkan dengan perjanjian baku yang secara pokoknya tidak menguntungkan bahkan merugikan, namun atas adanya daya paksaan dari segi ekonomi dan psikis, debitur terpaksa melakukan kesepakatan terhadap perjanjian baku tersebut.
Perlindungan Hukum Sebagai Perlindungan Konsumen
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.