Pendahuluan
Realitas penjeratan pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang yang selanjutnya disebut TPPU melalui pidana penjara selama ini dinilai tidak efektif, termasuk di Indonesia. Ketidakefektifan ini berimbas pada pengembalian aset keuangan negara yang tidak optimal. ini merupakan konsekuensi dari penghukuman yang masih berorientasi pada paradigma klasik yakni hanya berfokus pada pemenjaraan pelaku. Paradigma penghukuman ini realitanya tidak memberikan efek jera, sebab pasca penghukuman para pelaku masih bisa menikmati hasil kejahatannya. Sistem penghukuman pada kejahatan ini dinilai lebih dominan pada aspek penghukuman badan semata. Oleh karena itu lahirlah kebijakan perampasan aset sebagai bentuk penanganan dan pengembalian keuangan negara terhadap pelaku.
Menurut Mardjono Reksodiputro, perampasan aset dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu secara Pidana atau in persona, secara Administrasi atau tanpa jalur pengadilan, serta secara Perdata atau in rem. Di Indonesia, lazimnya mekanisme perampasan aset yang digunakan adalah secara pidana atau in persona. Pada kenyataannya mekanisme ini memiiliki beberapa kelemahan diantaranya mengharuskan adanya putusan pengadilan yang incraht. Masalah yang kemudian muncul pelaku tidak dapat dijerat dengan alasan kematian, pelarian atau tidak ditemukan.[1] Adapun mekanisme perampasan aset secara administrasi, hanya diberlakukan pada kasus tertentu tanpa melalui jalur pengadilan. Tentunya hal ini tidak sesuai jika diterapkan secara general pada semua kasus. Jenis perampasan aset yang terakhir adalah secara perdata atau in rem atau perampasan objek yang disebut Non Conviction Based Asset Forfeiture yang selanjutnya disebut NCB. Konsep NCB merupakan tindakan perampasan terhadap aset itu sendiri dan bukan kepada pelaku.
Realitas penyelamatan aset negara melalui perampasan dengan sistem saat ini yaitu hanya pemenjaraan nyatanya tidak maksimal. Peneliti Indonesian Corruption Watch atau selanjutnya disebut ICW yaitu Lalola Easter mengatakan, pada tahun 2018, kerugian negara berdasarkan 1.053 putusan yang dikeluarkan pengadilan terhadap 1.162 terdakwa adalah sebesar Rp.9,2 triliun. Sementara, pengembalian aset negara dari pidana tambahan uang pengganti hanya Rp805 miliar dan USD3.012 (setara Rp.42 miliar). Maka, hanya sekitar 8,7 persen kerugian negara yang diganti melalui pidana tambahan berupa uang pengganti. Fakta ini memperkuat bahwa mekanisme perampasan aset secara pidana tidak relevan lagi untuk diterapkan dewasa ini.
Kelemahan metode perampasan pidana dan administrasi yang dipertegas dengan fakta di atas, semakin memperkuat bahwa perampasan aset secara perdata merupakan mekanisme paling optimal untuk direalisasikan secara konsekuen. Pelaksanaan ini kemudian merujuk pada ketentuan United Nations Convention agains corruption yang atau selanjutnya disebut UNCAC yang relevan hukum posistif yang berlaku. Dalam menunjang pelaksanaan NCB sejatinya perlu ditegaskan bahwa kendatipun NCB telah diterapkan, pelaku masih dapat dituntut secara pidana. Selain itu agar pelaksanaannya terjamin maka RUU Perampasan aset perlu dikonversi menjadi UU. Penerapan NCB adalah refleksi dari pengefesiensian dalam peradilan agar terwujud efektifitas dalam proses penyelesaiannya. Dalam Ikhtiar dari pengefektifan ini tidak lain adalah untuk memaksimalkan pengembalian keuangan negara.
Pembahasan