Kegagalan dalam mewujudkan keadilan melalui hukum menjadikan salah satu masalah yang harus segera ditangani oleh pemerintah agar kata dari adil tidak tumbang bagi masyarakat di bawah dan dapat melakukan hukum semestinya meskipun mereka adalah elit politik (pramudia, 2019). Jika situasi dan kondisi ini tidak dapat diatasi tentu saja kata adil hanyalah sekadar topeng dan ini dapat menjatuhkan wibawa hukum dihadapan masyarakat.
Ketidakadilan juga begitu tampak berat sebelah dalam menghukum rakyat, salah satunya ialah mengkritik. Saat ini netizen dihadapi atas tanggapan dari bapak Presiden Joko Widodo yang meminta agar masyarakat lebih aktif lagi untuk memberikan kritik masukannya untuk pemerintah. Lantas, pernyataan ini diperkuat oleh Pramono bahwa pemerintah butuh kritik yang terbuka, kritik yang pedas, kritik yang keras, karena dengan kritik itulah pemerintah akan memperbaiki cara kerja lebih tepat, ujarnya.
Lalu, bagaimana dengan UU ITE ini yang memuat pasal yang akan menghambat seseorang untuk berekspresi, berpendapat, mengkritik akan sesuatu ? Banyak kasus yang kita temui beberapa orang berpendapat tetapi langsung dihadapi dengan hukum. Sikap ini memperlihatkan anti kritik represif pengguasa menjadi bukti ketidakadilan yaitu terkekangnya seseorang untuk bersuara, membelenggu kemerdekaan berpendapat, menghimpit seseorang yang kristis. Pantas saja pasal ini dikatakan pasal karet.
Maka tak heran jika ada yang meragukan eksistensi hukum, contohnya Ahmad Dhani berpendapat di akun twitter dan ini menjadi kasus yang menjeratnya dengan pasal ujaran kebecian yang divonis 1 tahun 6 bulan penjara. Lalu komedian Bintang Emon mengkritisi kasus Novel Baswedan pada videonya dari unggahannya tersebut ia diserang dan difitnah. Apakah ini untuk membungkam seseorang yang kritis ?
Lalu berbeda dengan Victor Laiskodat, Ade Armando, Abu Janda yang melakukan ujaran kebencian namun tak satupun yang dianggap melanggar hukum. Lalu timbul pertanyaan bagaimana cara mengkritik yang benar versi bapak presiden yang terhormat agar tidak terjerat hukum ketika menyampaikan kritik dan masukan di sosial media karena begitu sering kasus ini mengancam beberapa orang dengan alih kasus pencemaran nama baik, penghinaan dan ujaran kebencian.
Kemudian kasus remaja, hukumnya dihindari bahkan hal ini mengundang aksi kekerasan yang kontra produktif dengan contohnya bullying fisik, pengeroyokan dan perkelahian. Adapun saat ini kita lihat dalam kasus yang terjadi pada pidana anak cenderung kearah hukum progresif, sanksinya diupayakan tidak dipenjara/menghindari pemenjaraan jadi korban dan pelaku dipertemukan berdiskusi dan saling meminta maaf. Alhasil hanya membayar rugi saja, sehingga dalam benak para remaja mereka dapat melakukan apapun seperti saat ini gencarnya kasus kekerasan antar pelajar, karena anak di bawah umur tidak ada sanksi apapun sehingga mereka bebas. Meskipun itu kekerasaan jika pihak keamanan hanya mendamaikan melakukan mediasi dengan memanggil orang tua lalu kemudian membuat surat pernyataan untuk berdamai. Namun ini kurang efektif di mana tidak ada rasa kapok, hingga kita melihat kejadian ini berulang kali dalam beberapa tahun ini disebabkan tidak adanya peraturan yang ketat agar para remaja berpikir secara rasional untuk bertindak.
Semoga kedepannya penegak hukum lebih adil lagi dalam menetapkan hukum, tidak memihak dan dapat memutuskan suatu perkara dengan semestinya dan kami rakyat biasa juga meminta agar pendapat kami dapat didengarkan tanpa ada rasa takut akan ancaman dari beberapa pihak.
Bibliography
Azanella, L. A. (2020, januari 18). Selain Kakek Samirin, Ini 4 Kasus Hukum yang Sempat Menimpa Lansia. Retrieved from Kompas.com: https://www.kompas.com/tren/read/2020/01/18/213315465/selain-kakek-samirin-ini-4-kasus-hukum-yang-sempat-menimpa-lansia?page=all
Semoga Negara Indonesia kedepannya Akan lebih dalam penegak hukum ✊
Semoga Negara Indonesia kedepannya Akan lebih adil dalam penegak hukum ✊
Yup bener banget sar,. Kita harap sedemikian…. Terimakasih sari…. Dukungannya