Indonesia adalah negara hukum yang mana mengutamakan landasan hukum dalam semua aktivitas, yang dinyatakan pada undang-undang pasal 1 ayat 3 UUD 1945. Kemudian sebenarnya masyarakat, mahasiswa, pelajar harus paham akan hukum tidak mengabaikan begitu saja, disebabkan pengaruh hukum sangat penting di kehidupan kita, karena semua perbuatan dan tindakan berlandaskan hukum di dalam peraturan perundang-undangan, selanjutnya setelah mengetahui aturan hukum maka seseorang akan mengetahui hak, kewajibannya dan tahu apa yang harus ia lakukan ketika dihadapkan pada masalah hukum. Dan ketika seseorang melanggar hukum maka ia harus terkena sanksi, ketika kita memahami akan hukum maka kita juga akan mengetahui akan tujuan dari sebuah hukum yaitu menerapkan kebenaran, kedamaian dan menjamin keadilan bagi seluruh warga negaranya.
Namun, nyatanya sebaliknya banyak kasus yang kita lihat bersama, sabotase, diskriminasi, pengistimewaan bagi yang di atas dalam menangani kasus. Bisa dikatakan hukum tajam ke bawah tumpul ke atas, istilah ini tepat untuk mendeskripsikan kondisi penegak hukum Indonesia. Akan tetapi, menurut aturan hukum ini adalah benar. Masyarakat mengungkapkan, hukum bisa dibeli oleh yang punya jabatan, kekuasaan dan yang memiliki uang berlimpah pasti akan aman dari aturan maupun belenggu sanksi. Sebaliknya, hukum berbeda pada orang yang di bawah seakan hukum dapat untuk dipermainkan.
Cuitan para netizen pun tak habis-habis memberikan kritik dalam beberapa kasus sebagai ungkapan rasa kecewa. Berbagai kritik pedas diarahkan pada penegak hukum untuk menyadarkan akan ketidakadilan proses berlangsungnya hukum dan juga lemahnya penerapan berbagai peraturan yang diterapkan. Praktik penyelewengan dalam proses penegakan hukum seperti peradilan yang diskriminatif atau rekayasa proses peradilan merupakan realitas yang mudah ditemukan.
Contohnya, hukum ringkih yang terjadi pada nenek Asyani yang berumur senja didakwa mencuri kayu jati dikenakan Pasal 12 juncto Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dengan ancaman 5 tahun penjara bahkan dijadikan komoditas politik dan menjadi ajang pertunjukkan empati para tokoh berkepentingan (Fauzi, 2015). Adapula Hamdani yang dituduh mencuri sandal bolong divonis hukuman tahanan selama 2 bulan 24 hari. Selanjutnya, kakek Samirin berumur 68 tahun yang merupakan seorang lansia yang memungut sisa getah pohon karet divonis hukuman penjara selama 2 bulan 4 hari oleh Pengadilan Simalungun, langsung dikenakan hukuman seberat-beratnya, kasusnya pun disebabkan beberapa hal bukan untuk memperkaya diri, seperti apa yang dilakukan oleh koruptor yang mereka sudah diberi fasilitas namun, masih tamak hingga melalap yang bukan haknya lagi. Apakah karena miskin hingga rakyat kecil masih kesulitan dalam menggapai keadilan dan langsung dihakakimi seberat-beratnya, lantas dimana kata peri kemanusiaan?
Sedang pejabat yang melakukan korupsi uang miliaran rupiah milik negara dapat bebas, proses hukumnya seakan begitu menunda-nunda dan digantung. Masyarakat seakan dihidangkan pertunjukan dari tokoh-tokoh tersebut, dan menjadi mencengangkan disaat ada beberapa sel yang diberi fasilitas layaknya hotel seperti Lapas Porong, Sidoarjo Jawa Timur; Lapas Lubukpakam, Sumatera Utara; Lapas Cipinang, Jakarta Timur; Rutan Pondok Bambu, Jakarta Timur serta Lapas Suka Miskin. Uniknya, sel ini bisa dinikmati oleh para pidana yang mempunyai uang, seperti yang dinyatakan oleh Najwa Shihab dalam unggahannya yang berjudul ‘’pura-pura penjara’’ ia menyatakan bahwa kondisi koruptor ternyata hidup mewah yang seharusnya dihukum seberat-beratnya malah merasakan keistimewaan dan kekhususan. Bukankah tujuan sel agar membuat para pelakunya jera agar tidak melakukan hal yang sama ? Sel juga dibuat tidak senyaman mungkin namun, mengapa ada pula seakan seperti hotel? Apakah memang benar fasilitas sel bisa didapatkan jika membayar sejumlah uang seperti apa yang kita saksikan ?, jika benar, pantas saja pelakunya tidak khawatir untuk merampok uang rakyat karena hukum terlalu lemah. Pantas saja kejahatan tak lekang sampai detik ini.
Padahal, semua kasus tersebut sangat merugikan negara dan masyarakat kita. Korupsi terus menjadi hal yang sulit diberantas apalagi di saat ini pandemi masih berlanjut. Bahkan beberapa elit politik seperti Juliari Batubara serta tokoh-tokoh lain, sanggup mengkorupsi dana bansos untuk masyarakat yang sangat membutuhkan bantuan, kasus ini terkuak pada akhir tahun 2020 (Lidyana, 2020).
Kondisi seperti ini sangat memalukan tanah air apalagi negara sudah banyak berutang dengan negara asing. Pada tahun 2020 saja negara telah menarik pinjaman dari Jerman senilai 550 juta euro Eropa, atau setara Rp9,1 triliun, pinjaman dilakukan pada Jumat 14 november 2020 (cnnindonesia, 2020). Utang Indonesia tahun pertahun menaik. Jumlahnya, tumpukan utang saat masa pandemi mencapai RP 6.000 Triliun. Begitu pun masih ada yang mengkorupsi milyaran uang. Ini sangat berpengaruhi pada demokrasi Indonesia, disaat hukum tidak memperjerat pelakunya dengan semestinya tentu saja kasus ini terus terjadi lagi dan lagi.
Semoga Negara Indonesia kedepannya Akan lebih dalam penegak hukum ✊
Semoga Negara Indonesia kedepannya Akan lebih adil dalam penegak hukum ✊
Yup bener banget sar,. Kita harap sedemikian…. Terimakasih sari…. Dukungannya