Gerakan reformasi tahun 1998 telah membuka semua bentuk pemasungan ekspresi. Hak bersuara dan mengemukakan pendapat terbebaskan dari semua belenggu pembungkaman yang konon bisa berujung pada ketiadaan. Pascareformasi, suasana demokrasi mulai tertata ulang dalam semangat pembangunan yang berkelanjutan dan kontekstual. Benih-benih perubahan mulai nampak ketika argumentasi, pandangan, dan pendapat konstruktif menemui muara kebebasannya lewat publikasi media massa.
Media massa pun mengambil peran strategis dalam mendorong dan mengiringi langkah masyarakat menuju sebuah inisiasi kemajuan peradaban secara kolektif. Bukan tanpa sebab, tawaran demokrasi akan jamuan kebebasan yang bertanggungjawab menjadi hasrat ekspresif media massa untuk terus berkembang sesuai dengan kebutuhan situasi dan kondisi.
Eksistensi media massa yang dinamis tentunya berpengaruh pada kredibilitas dan integritas pola pikir sebuah masyarakat. McQuail (1994) dalam bukunya Teori Komunikasi Massa :Suatu Pengantar, mendefinisikan media massa sebagai sumber dominan bagi individu dan masyarakat untuk memperoleh gambar dan citra realitas sosial.
Menurutnya, media massa memiliki pengaruh yang kuat terhadap pembentukan pola pikir, sikap dan perilaku masyarakat lewat penyuguhan nilai-nilai dan penilaian normatif yang termanifestasi dalam berbagai pemberitaan dan acara hiburannya. Hal tersebut senada dengan pandangan McLuhan dan Fiore (1967) dalam bukunya “The Medium is The Massage”, yang menyatakan bahwa secara sadar maupun tidak, media massa berpengaruh terhadap pola pikir dan tingkah laku masyarakat secara luas secara responsif melalui proses pemberitaannya.
Menurut keduanya, dampak positif dan negatif yang timbul dari publikasi media massa yang berisi konstruksi sosial secara tidak langsung akan membentuk opini publik. Oleh karena itu, dalam proses pengawasan, pemerintah sebagai pemangku kebijakan berupaya menjaga objektivitas dan integritas sebuah media massa lewat UU regulasi media.
Media Massa: Antara Regulasi Dan Privatisasi
Regulasi media di Indonesia terdiri atas dua bingkai besar, yakni UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Dua regulasi tersebut menjadi lorong pijakan media massa dalam melakukan kegiatan jurnalistik sebagai sebuah sistem besar.
Sistem tersebut terdiri atas berbagai pihak yang turut andil dalam proses pemberitaan dan publikasi, yakni pekerja media (wartawan), pemilik media (pengusaha), audiens (masyarakat), pemerintah (regulator) dan stake holder lainnya. Oleh karena itu, dalam menunjang dan meningkatkan profesionalitas, integritas, dan objektivitas media massa sebagai sebuah sistem, Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menjabarkan lagi regulasi media ke dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) sebagai proses batas pembuatan program siaran serta Penyiaran Standar Program (PSP) sebagai batas program siaran dalam penyiaran.