Kejahatan korupsi di Indonesia selalu bertambah dari tahun ketahun, dimana melibatkan pelaku utamanya adalah pejabat dalam suatu institusi, pengusaha, selain itu para pejabat negara seperti Menteri, Gubernur, dan para penegak hukum banyak yang menjadi pelaku korupsi/koruptor. Faktor umum yang menyebabkan korupsi marak terjadi adalah setiap orang yang melakukannya dikarenakan tingginya gaya hidup yang melampaui dari penghasilan, serakahnya para koruptor terhadap uang dan kekayaan, serta munculnya peluang bagi seseorang atau korporasi untuk melakukan tindak pidana korupsi.
Penegakan hukum di Indonesia yang dianggap lemah dan tumpul pun dijadikan para pelaku tersebut menjadi peluang dalam melakukan tindak kejahatan korupsi, dimana yang pada seharusnya hukum menjadi produk dari suatu negara untuk membuat para pelaku jera melainkan menjadi peluang dalam melakukan tindak kejahatan. Hal ini dikarenakan munculnya para pelaku tindak pidana korupsi yang merupakan aparat penegak hukum seperti hakim, jaksa, advokat dan polisi.
Aparat penegak hukum menerima suap/janji atau hadiah (yang merupakan bentuk dari korupsi) dari para koruptor dengan melobi untuk memeriksa dan memenangkan perkaranya atau meminta para pengegak hukum untuk melakukan sesuatu yang bertentangan atau tidak dilakukan kewajibannya. Sehingga banyak juga para koruptor yang dihukum ringan yang tidak layak dan pantas bahkan lolos dari jeratan hukum pidana sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Korupsi di Indonesia. Hal ini menyebabkan turunnya kepercayaan masyarakat terhadap para penegak hukum dalam memberantas kasus korupsi yang sangat merugikan.
Menurut Indonesia Corruption Watch, dengan terbitnya kebijakan yang sebetulnya bertentangan dengan semangat memberatas korupsi seperti kebijakan yang bermasalah, adanya pengesahan produk hukum yang kontroversial, serta dengan merujuk data yang dimiliki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan bahwa jumlah penindakan dari adanya tindak pidana korupsi di Indonesia mengalami penurunan mulai dari tahap penyidikan, penuntutan, dan tangkap tangan sehingga menyebabkan angka korupsi di negara ini pada tahun 2020 meningkat.
Seperti pada kasus suap terkati kepengurusan perkara pailit yang diterima oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yaitu Syarifuddin Umar sejumlah Rp 250 juta, kemudian Hakim Adhoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Pengadilan Negeri Pontianak Heri Kisbandono yang dimana terbukti menyuap Hakim Tipikor Semarang dalam mempengaruhi suatu putusan perkara korupsi, lalu kasus korupsi Rp 132 miliar yang dilakukan oleh Tamin Sukardi terkait dengan proses jual-beli, pengalihan tanah Hak Guna Usaha tanah PT Perkebunan Nusantara II yang dimana ia menyuap hakim yang bernama Merry Purba sejumlah USD 150 ribu agar Tamin dibebaskan dari perkara korupsi pengalihan tanah.