Sebagai Negara hukum, tentunya Indonesia dalam membentuk suatu peraturan perundang-undang tidak dapat terlepas dari politik hukum. Mengutip pendapat Satjipto Rahardjo dalam buku ilmu hukum menyatakan bahwa politik hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat. Sementara menurut M. Mahfud MD, politik hukum adalah kebijakan resmi (legal policy) negara tentang hukum yang akan diberlakukan atau tidak akan diberlakukan (pembuat aturan yang baru atau mencabut aturan yang lama) untuk mencapai tujuan negara. Lantas hal yang ingin disorot dalam tulisan ini adalah politik hukum pemerintah dalam menyusun peraturan perundang-undangan. Alasan lainnya adalah keputusan bidang legislasi cenderung lebih banyak diwarnai oleh visi politik pemerintah.
Pembentukan Undang-Undang selama ini menunjukkan bahwa Presiden memang tidak pernah terlibat langsung dalam proses pembahasan hingga pada tahap persetujuan bersama untuk ditetapkan menjadi Undang-Undang dalam persidangan di DPR. Dalam proses pembahasan RUU hingga pada tahap persetujuan bersama di DPR, Presiden di wakili oleh Menteri yang ditunjuk oleh Presiden. Dalam praktiknya, pembahasan RUU dilakukan pada tahap pembicaraan Tingkat I, sedangkan persetujuan bersama dilakukan pada tahap pembicaraan Tingkat II. Meskipun Presiden tidak terlibat langsung dalam proses pembahasan dan persetujuan bersama dalam proses pembentukan UU oleh DPR, namun kehadiran Menteri yang mewakili Presiden tidak mengurangi makna ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945.
Pembahasan
Pada praktik penyusunan peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh Pemerintah dan DPR RI sering mengalami multitafsir sehingga muncul pro dan kontra pada masyarakat karena lebih mengedepankan kepentingan politik dari pada kepentingan masyarakat. Kepentingan politik tersebut sangat jelas terbaca, bahkan antara Presiden dengan menteri terkadang berbeda pandangan terhadap Undang-Undang yang sedang dibahas. Materi muatan peraturan perundang-undangan tidak mencerminkan kebutuhan hukum masyarakat. Peraturan perundang-undangan yang bermasalah dan tidak aspiratif tersebut dikarenakan proses pembentukannya yang elitis. Seperti yang kita lihat dan amati pada sidang parlemen antara DPR bersama Pemerintah ketika membuat undang-undang sebagai produk bersama hanya sebagai adegan kontestasi dan panggung sandiwara agar kepentingan dan aspirasi semua kekuatan politik dapat diwadahi di dalam keputusan politik yang melahirkan undang-undang.
Undang-undang Cipta Kerja ini barangkali hanya menjadi salah satu dari sekian banyak Undang-undang yang lahir dan mendapatkan penolakan secara langsung. Revisi Undang-Undang Pertambangan Batu Bara dan Mineral (RUU Minerba) dengan cepat disahkan pada bulan Mei saat pandemi masih berlangsung dan mendapatkan kritik karena lebih kental kepentingan oligarki dan potensi ancaman yang ditimbulkannya terhadap lingkungan dan masyarakat setempat. Revisi Undang-Undang KPK juga mengalami nasib yang sama. Pasca revisi Undang-Undang KPK, KPK seakan-akan sudah tidak lagi seperti sebelumnya dalam melakukan semangat pemberantasan korupsi. Klaim pemerintah yang menyatakan bahwa Revisi Undang-Undang KPK merupakan penguatan terhadap KPK ternyata berbanding terbalik. Hal ini mengindikasikan bahwa proses legislasi yang dilakukan seakan terkesan seperti ugal-ugalan. Kegaduhan pada setiap lahirnya suatu Undang-Undang yang baru merupakan implikasi dari tidak adanya transparansi dan akuntabilitas dari proses pembuatan Undang-Undang tersebut. Proses legislasi ugal-ugalan akan melahirkan hasil yang prematur dan akan menghilangkan orientasi serta terkesan mengabaikan suara dan aspirasi rakyat. Perencanaan legislasi harus bisa memfasilitasi dan mendialogkan urgensi atau alasan kenapa suatu rancangan undang-undang harus ada. Tidak bisa serta merta undang-undang itu dipaksakan untuk ada.
Dengan menelusuri kehadiran beberapa undang-undang yang mendapat penolakan dari akamedisi, organisasi mahasiswa, serikat pekerja dan organisasi masyarakat sipil. Tentu tidak baik apabila tetap memaksakan keberlakuan suatu peraturan yang mendapatkan penolakan. Pembentukan undang-undang tersebut tidak mencerminkan produk hukum yang berkarakter responsif yang proses pembuatannya tidak melibatkan dan menyerap partisipasi masyarakat. Mengingat bahwa aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat merupakan salah alasan pembentukan suatu peraturan perundang-undangan. Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) huruf (e) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 bahwa materi muatan yang harus diatur melalui UU harus disesuaikan dengan pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.