Uniknya, sel ini bisa dinikmati oleh para pidana yang mempuyai duit, seperti yang dinyatakan oleh Najwa Shihab dalam unggahannya yang berjudul ‘’pura-pura penjara’’. Najwa menyatakan bahwa kondisi koruptor ternyata hidup mewah yang seharusnya dihukum seberat beratnya malah merasakan keistimewaan dan kekhususan, bukankah tujuan sel agar membuat para pelakunya jera agar tidak melakukan hal yang sama, sel juga dibuat tidak senyaman mungkin namun mengapa ada pula seakan seperti hotel? Apakah memang benar fasilitas sel bisa didapatkan jika membayar sejumlah uang? seperti apa yang kita saksikan, jika benar, pantas saja pelakunya tidak khawatir untuk merampok uang rakyat karena hukum terlalu lemah. Pantas saja kejahatan tak lekang sampai detik ini.
Padahal, semua kasus tersebut sangat merugikan negara dan masyarakat kita, Korupsi terus menjadi hal yang sulit diberantas apalagi di saat ini pandemi masih berlanjut, bahkan beberapa elit politik Juliari Batubara serta tokoh-tokoh lain, sanggup mengkorupsi dana bansos untuk masyarakat yang sangat membutuhkan bantuan, kasus ini terkuak pada akhir tahun 2020 (Lidyana, 2020).
Kondisi seperti ini sangat memalukan di tanah air apalagi negara sudah banyak utang dengan negara asing pada tahun 2020 saja negara telah menarik pinjaman dari Jerman senilai 550 juta Euro, atau setara Rp 9,1 triliun, pinjaman dilakukan pada Jumat 14 November 2020. Utang Indonesia tahun pertahun menaik jumlahnya, tumpukan utang saat masa pandemi mencapai Rp 6.000 Triliun. Begitupun masih ada yang mengkorupsi milyaran uang, Ini sangat berpengaruhi pada demokrasi Indonesia, di saat hukum tidak mempercerat pelakunya dengan semestinya tentu saja kasus ini terus terjadi lagi dan lagi.
Kegagalan dalam mewujudkan keadilan melalui hukum menjadikan salah satu masalah yang harus segera ditangani oleh pemerintah agar kata dari adil tidak tumbang bagi masyarakat di bawah dan dapat melakukan hukum semestinya meskipun mereka adalah elit politik (pramudia, 2019). Jika situasi dan kondisi ini tidak dapat diatasi tentu saja kata adil hanyalah sekedar topeng dan ini dapat menjatuhkan wibawa hukum dihadapan masyarakat.
Ketidakadilan juga begitu tampak berat sebelah dalam menghukum rakyat, salah satunya ialah mengkritik. Dan saat ini netizen dihadapi atas tanggapan dari bapak Presiden Joko Widodo yang meminta agar masyarakat lebih aktif lagi untuk memberikan kritik, masukannya untuk pemerintah. Lalu pernyataan ini diperkuat oleh Pramono bahwa pemerintah butuh kritik yang terbuka, kritik yang pedas, kritik yang keras, karena dengan kritik itulah pemerintah akan memperbaiki cara kerja lebih tepat ujarnya.
Lantas, bagaimana dengan UU ITE ini yang memuat pasal yang akan menghambat seseorang untuk berekspresi, berpendapat, mengkritik akan sesuatu, banyak kasus yang kita temui beberapa orang berpendapat tetapi langsung dihadapi dengan hukum, Sikap ini memperlihatkan anti kritik represif pengguasa menjadi bukti ketidakadilan yaitu terkekangnya seseorang bersuara, membelenggu kemerdekaan berpendapat, menghimpit seseorang yang kristis, pantas saja pasal ini dikatakan pasal karet.
Maka tak heran, jika ada yang meragukan eksistensi hukum, contohnya Ahmad Dhani berpendapat di akun twitter dan ini menjadi kasus yang menjeratnya pasal ujaran kebecian yang divonis 1 tahun 6 bulan penjara. Lalu komedian Bintang Emon mengkritisi kasus Novel Baswedan di vidionya dari unggahannya tersebut ia diserang dan difitnah apakah ini untuk membungkam seseorang yang kritis.
Lalu berbeda dengan Victor Laiskodat, Ade Armando, Abu janda yang melakukan ujaran kebencian namun tak satupun yang dianggap melanggar hukum. Lalu timbul pertanyaan bagaimana cara mengkritik yang benar versi bapak presiden yang terhormat? Agar tidak terjerat hukum ketika menyampaikan kritik dan masukan di sosial media, karena begitu sering kasus ini mengancam beberapa orang dengan alih kasus pencemaran nama baik, penghinaan dan ujaran kebencian.