Walau ada akhir dari pertanyaan ini, jawaban tetap meninggalkan perkara, bagaimana dengan ateis atau orang-orang yang tidak percaya akan Tuhan sama sekali? Pengosongan dan pengisian kolom agama dengan agama orang tua tetap direkomendasikan. Mayoritas dari ateis, secara terus terang, tidak peduli apa yang tercantum dalam kolom agama di KTP-nya. Yakni, suatu keterbalikan oleh orang-orang yang beragama dan berkepercayaan tercerminkan oleh gugatan uji materil yang telah disebutkan di atas dan komentar-komentar yang dilontarkan seusainya.
Undang-Undang Nomor Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga mengakui kebebasan seorang warga negara Indonesia untuk memeluk agama. Namun, tentunya sebagai suatu forum internum yang merupakan kebebasan individu yang tidak bisa di atur secara riil oleh pengaruh luar seperti negara. Sederhananya, jika seorang yang beragama X dan sudah menghayati agama tersebut secara penuh, walaupun dihalangi untuk beribadat dan dipaksa untuk pindah ke Agama Y, orang tersebut akan tetap berpegang teguh bahwa agamanya adalah X.
Logika ini juga berlaku kepada individu-individu yang telah tercantum suatu agama dalam KTP-nya, padahal tidak menghayati maupun beribadat sesuai dengan agama yang tercantum itu. Pengaruh luar tidak dapat mempengaruhinya untuk menjadi saleh akan agamanya karena kepercayaannya akan agamanya ataupun agama lain merupakan forum internum.
Lalu, apa gunanya pencantuman kolom agama di KTP jika bukan sebagai takaran mutlak akan keagamaan seseorang? Dalam hukum positif Indonesia, terdapat beberapa contoh, seperti dalam kala terjadi waris. Menurut Pasal 172 dari Kompilasi Hukum Islam, KTP sebagai suatu Kartu Identitas merupakan alat bukti untuk membuktikan agama dari seorang ahli waris. Selanjutnya, Pasal 1, 6, dan 8 dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatakan bahwa mengikuti ketentuan agama yang dipeluknya merupakan salah satu syarat sah dari suatu perkawinan. Kedua fungsi yang telah disebutkan merupakan pengamalan dari agama atau kepercayaan yang memasuki ranah forum eksternum.
Berbalik arah dari konsep forum internum terkait seorang memeluk agama tertentu, beribadat dan mengamalkan suatu agama merupakan forum eksternum yang dapat diatur pula oleh factor eksternal seperti negara. Pengaturan ini lebih ditegaskan saat terbitnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menghapus ketentuan bahwa pihak ahli waris dapat memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan. Perubahan ini pun secara jelas membatasi orang yang beragama Islam untuk hanya dapat menggunakan hukum waris Islam dalam masalah warisnya.
Perbedaan yang jelas pun terlihat di atas. Jikalau suatu orang yang memiliki kepercayaan itu merupakan contoh kasus forum internum, dan jika ia mengamalkan kepercayaan tersebut yang salah satunya itu mengakui dan mengumumkan kepercayaannya, kasus tersebut berubah menjadi forum eksternum. Ini menimbulkan lagi-lagi satu pertanyaan, mengapa Pemerintah Indonesia mewajibkan hal tersebut kepada penduduknya? Bukankah agama dan kepercayaan merupakan urusan pribadi yang tidak bisa dipengaruhi oleh faktor eksternal?