Masyarakat Indonesia sudah tak asing lagi dengan kebebasan, baik itu dalam konteks berekspresi, maupun hal lainnya. Banyak orang terpaku dengan hanya diam, tak berani mengeluarkan pendapat,dikarenakan takut terjerat dalam suatu undang-undang. Kebebasan berpendapat di Indonesia adalah salah satu masalah yang sangat kompleks. Karena harus memilih antara diam atau bersuara tetapi tantangan sudah menanti di depan mata, yaitu teror dan penjara.
Mengapa saya harus bersuara, sedangkan wakil rakyat sudah ada? Kenapa diam adalah salah satu tindakan, lemahnya mental seorang yang peduli terhadap lingkungan sekitar? Judge adalah jawabannya. Indonesia adalah negara demokrasi. Yang mana identitas negara demokrasi adalah semua orang berhak bersuara, berhak mengemukakan pendapat dan lainnya. Tak hanya itu, Indonesia adalah negara hukum. Ada undang-undang yang mengatur seluruh tatanan Negara Indonesia.
Kebebasan berpendapat telah tertuang dalam pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi : “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Di dalam pasal ini sudah di jelaskan bahwa semua orang berhak berekspresi, baik itu secara personal maupun berkelompok . Dengan demikian kebebasan berpendapat hak mutlak atau ultimatum untuk warga negara. Namun masih banyak yang beranggapan bahwasanya situasi di Indonesia menakutkan jika berpendapat. Logika bebas, rasional melihat dari siapa saja yang di tangkap. Kemudian ditangguhkan lagi dalam UU Nomor 9 Tahun 1998 Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum. Dengan kata lain, kebebasan berpendapat sudah menjadi marwahnya sebuah negara demokrasi.
[rml_read_more]
Mengkritisi personal atau pemerintah yang merugikan banyak orang harus diluruskan dengan aksi nyata melalui berpendapat dan semacamnya. “Manusia tak ada yang sempurna dan tak luput dari ke khilafan.“ Statement ini berlaku dalam semua aspek kehidupan, tak terkecuali dalam kontekstual kebebasan berpendapat. Kita sebagai warga negara yang baik, dan peduli terhadap lingkungan, mengambil peran dengan tiindakan pelurusan dari suatu kebijakan. Pemerintah harus memberikan apresiasi terhadap orang yang memperjuangkan keadilan seperti memfasilitasi atau akomodasi penyampaian aspirasi.
Zaman Teknologi seperti sekarang ini, banyak sekali alternatif untuk berekspresi terhadap suatu isu seperti media sosial. Media sosial menjadi sebuah kubutuhan bagi seluruh umat manusia saat ini, baik itu orang tua, dewasa, remaja, dan anak-anak. Berbagai macam usia dan profesi sudah menggunakan media sosial di kehidupan mereka sehari-hari. Youtube ,Twitter, Instagram adalah beberapa media sosial yang sering kita temui sebagai media sosial penyalur argumentasi dan persepsi. Langkah pasti walaupun kadang menjadi pemicu terjadinya berita hoax, namun tak bisa dipungkiri media ini sangat sering di gunakan untuk penyampaian aspirasi.
Politisi, Akademisi, Mahasiswa, dan berbagi profesi lainnya. Turun ambil andil menyampaikan suaranya di media sosial. Dibalik mudahnya media penyalur suara ini ada hal lainnya yang harus di pertimbangkan lagi. Mengingat ada UU lagi yang mengatur yaitu pasal 27 ayat 3 UU ITE yabg berbunyi, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”. Selanjutnya pasal 28 ayat 2 UU ITE menyatakan, “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).”
Dalam kedua pasal ini sudah di jabarkan bahwasannya tidak boleh mengujarkan kebencian atau mengkritik . Lantas mengapa Indonesia masih di anggap demokratis? Dan Bagaimana rakyat bisa berpendapat, disaat aturan semakin hari semakin banyak? . Ini salah satu mundurnya demokrasi di Indonesia dan dapat berpotensi untuk kepentingan politisi .
Disini penulis bukti nyata terhadap kriminalisasi terhadap kebebasan berpendapat di Indonesia, yaitu pembubaran ormas FPI. Front Pembela Islam (FPI) adalah organisasi masyarakat yang di didirikan beberapa tokoh penting seperti ulama. Pembubaran FPI mendefinisikan turunnya indeks kebebasan berpendapat di Indonesia. Pemerintah berasumsi FPI salah satu ormas radikal dan harus di kondisikan. Alasan lainnya penulis berasumsi demikian, karena UU Ormas sudah ada, namun pembubaran FPI Tanpa mekanisme yang jelas.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.