Apabila ditinjau dari perspektif nilai dan asas hukum, pengungkapan kasus seseorang secara sepihak di ruang publik yang disertai dengan hujatan dan serangan kepada terduga pelaku tanpa melalui mekanisme hukum sejatinya tidak sesuai dengan prinsip Indonesia sebagai rechtstaat dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yang salah satunya terkandung nilai equality before the law, konsekuensi yuridisnya menjamin bahwa tiap individu bersamaan kedudukannya dalam hukum dengan memiliki persamaan hak dan kewajiban sehingga seorang yang dianggap salah oleh publik juga berhak atas jaminan perlindungan diri dan penyelesaian hukum yang berkeadilan. Penghasutan agar publik memercayai kebenaran sepihak bahwa orang yang dimaksud sebagai si Tersalah melanggar asas praduga tak bersalah, yang diakui dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, menyatakan bahwa:
setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut, karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan secara jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan peraturan perundangan-undangan.
Hal ini memberi pencerahan bahwasannya asas praduga tak bersalah harus dijunjung oleh siapapun demi menjaga citra, hak dan martabat orang tersebut.
Selanjutnya ditinjau dari budaya hukum, satu diantara 3 komponen penting dalam paradigma sistem hukum yang dikenalkan oleh Lawrence M. Friedman. Budaya hukum lebih mengarah pada bahasan bagaimana suatu masyarakat menilai, merespon, mematuhi, maupun pengetahuan masyarakat akan suatu aturan hukum dan kultur inilah yang memengaruhi berjalannya penegakan hukum dan keadaan hukum di masyarakat. Kultur yang berkembang di masyarakat dalam menangani kasus hukum umumnya adalah mengarah pada perbuatan main hakim sendiri, kurang disertai kedewasaan hukum dan mencari tahu validitas suatu info yang beredar sehingga serta merta percaya akan apa yang ditampilkan dalam thread, padahal apa yang disampaikan sangatlah subjektif yang menekankan cerita versi Korban. Namun hal ini juga tidak dapat dipersalahkan sepenuhnya akibat justifikasi masyarakat yang kurang ramah dengan menyalahkan, alih-alih memberi dukungan terhadap pihak korban sehingga memviralkan melalui akun anonim di Twitter adalah langkah pelariannya. Faktor lain adalah rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum (APH) dalam menangani perkara, yang justru pihak kepolisian tidak jarang meremehkan laporan/aduan dari masyarakat (si Korban) sehingga Korban percaya bahwa sanksi sosial dari tersebarnya aib si terduga pelaku akan mendorong APH untuk fokus pada kasus tersebut.
Terakhir, terlepas dari bagaimana yang melatarbelakangi budaya spill di Twitter, si pembuat thread harus siap dengan resiko kriminalisasi terhadap dirinya. Kriminalisasi menurut Sudarto dalam bukunya Kapita Selekta Hukum Pidana adalah proses ditetapkannya suatu perbuatan seorang individu yang digolongkan sebagai perbuatan yang dapat dikenakan sanksi pidana dengan perwujudan dalam pembentukan undang-undang. Dengan kata lain, perbuatan menyebarkan suatu kabar yang menyangkut pribadi si terduga pelaku dan privasinya, yang kebenarannya belum tervalidasi, serta tidak jarang disertai perbuatan yang menyerang psikis dan meneror akun pribadinya, terdapat bayang-bayang ancaman pemidanaan. Utamanya, instrumen yang digunakan oleh yang disebut dalam thread apabila dirasa merupakan suatu kebohongan, melanggar privasinya, merasa tercemar/terhina adalah mengacu pada UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU ITE sebagai lex specialis, yaitu:
1. Pasal 45 ayat (3), “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00.
Ketentuan ayat ini digunakan apabila muatan konten yang disebarkan menggunakan kalimat yang merendahkan martabat diri yang disebut, baik dengan cara penyebutan kata-kata kasar atau kata-kata yang seharusnya tidak bermakna negatif namun ketika digunakan akan bermaksud merendahkan diri, seperti menyebut nama hewan yang ditujukan pada orang yang dimaksud. Sedangkan muatan pencemaran nama baik lebih merujuk pada tuduhan yang tidak berdasar atau fitnah sehingga nama yang difitnah tercoreng, padahal hal tersebut tidak benar ataupun tidak benar seluruhnya.
2. Pasal 45 ayat (4), “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00.