Theorie des Psychischen Zwanges kontras dengan kondisi hukum di Indonesia. Teori ini bermakna sanksi pidana memiliki pengaruh preventif terhadap delik. Dalam khasanah ilmu hukum pidana, teori ini juga sebagai fungsi khusus yang melindungi kepentingan hukum terhadap perbuatan melawan hukum sehingga diberikannya sanksi pidana. Teori ajaran paksaan psychis dalam senyatanya kontras dengan kondisi hukum di Indonesia.
Fungsi khusus hukum pidana yang menyematkan teori ini dinilai belum berhasil dicapai. Bagaimana tidak, data Kepolisian Republik Indonesia menunjukkan tingkat kriminalitas di Indonesia meningkat 38,45% pada minggu ke-24 dari minggu sebelumnya di tahun 2020. Kasus kriminalitas yang sebelumnya 4.244 meningkat menjadi 5.876. Klasifikasi kasus tersebut salah satunya adalah penyalahgunaan narkotika.
Lebih lanjut, sanksi pidana yang merupakan nestapa menanti bagi pelaku delik. Hal tersebut inheren dengan sistem pemidanaan yang mengarah pada jenis-jenis pidana dalam Pasal 10 KUHP. Jenis-jenis pidana tersebut meliputi pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terbagi menjadi pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, dan denda.
Adapun pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim. Berhubungan dengan hal tersebut, dalam proses hukum pidana terdapat tahanan hingga narapidana. Perbedaan nyata kondisi hukum dengan teori paksaan psychis juga dapat dilihat berdasarkan data total tahanan dan narapidana di Indonesia tanggal 24 Februari 2021 sebanyak 252.678 orang. Jauh dari kata ideal, bahwa seharusnya rutan maupun lapas hanya bisa menampung 135.704 orang. Jumlah 252.678 tentu melebihi kapasitas.
Penjelasan di atas mengenai overcapacity menimbulkan pertanyaan mengenai apa implikasinya?
Pertama, kondisi tersebut akan dihadapkan dengan masalah keamanan. Berdasarkan rasio perbandingan bahwa hanya terdapat 17.329 satuan pengamanan untuk menjaga tahanan maupun narapidana sebanyak 252.678. Konklusinya adalah seorang petugas akan menjaga keamanan 14 sampai 15 orang yang idealnya hanya 5 orang saja. Dengan demikian, aspek keamanan menjadi rawan dalam rutan maupun lapas. Kedua, overcapacity juga berimplikasi pada aspek pembinaan. Hal ini bertalian dengan kekurangan jumlah sumber daya manusia (SDM) yang tugasnya berkaitan dengan pembinaan. Dapat dikorelasikan dengan data yang menunjukkan bahwa hanya terdapat 6.119 petugas pembina di Indonesia.
Gambaran singkat tersebut bermuara kepada tidak terpenuhinya hak narapidana yang dijelaskan dalam Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan seperti mendapatkan perawatan, pelayanan kesehatan dan makanan layak, menyampaikan keluhan, dan mendapatkan pendidikan dan pengajaran. Jumlah SDM yang tidak sebanding berisiko kepada pencideraan terpenuhinya hak narapidana.
Selain itu, hal tersebut dapat mempengaruhi tercapainya tujuan sistem pemasyarakatan. Esensi pemasyarakatan yang dicita-citakan undang-undang seolah memudar karena dihadapkan dengan permasalahan kondisi hukum yakni overcapacity tahanan dan narapidana di Indonesia.
Refleksi kondisi hukum di Indonesia memunculkan pertanyaan lain yang mengharapkan solusi atas permasalahan kehidupan hukum yang ada. Perlu diperhatikan mengenai konsepsi pemasyarakatan yang dijelaskan dalam Pasal 1 angka 1 undang-undang pemasyarakatan. Terdapat frasa pemasyarakatan sebagai bagian akhir sistem pemidanaan dalam pasal tersebut menafsirkan bahwa pemasyarakatan hanya sebagai tempat pembuangan akhir sistem peradilan pidana.
Ditemukan celah yang perlu diperbaiki guna mengatasi permasalahan ini. Celah tersebut koheren dengan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan bulan Januari 2021, terdapat 26.848 narapidana dengan status pidana khusus pengguna narkoba. Angka tersebut berada dalam peringkat 2 setelah bandar atau pengedar narkoba. Kondisi hukum tersebut perlu diperbaiki secara komprehensif.
Paradigma Retributif yang Masih Dianut Indonesia
Hukuman pidana bagi pelaku delik menyisihkan pertanyaan mengenai proses penyelesaian perkara hingga sanksi yang dijatuhkan. Retributivisme merupakan paradigma yang masih dianut Indonesia dalam menanggulangi kejahatan. Hal ini sependapat dengan Sri Wiyanti Eddyono yang mengemukakan pandangan retributif digunakan dalam penyelesaian perkara pidana dengan memberikan hukuman bagi pelaku.
Fokus hukuman pidana bagi pelaku, maka dalam paradigma ini mengesampingkan pemulihan kerugian dan penderitaan korban. Hal tersebut tidak sesuai dengan tujuan politik kriminal sebagaimana disampaikan Barda Nawawi bahwa hakikat penanggulangan kejahatan ialah integral dari perlindungan masyarakat. Selain itu, juga bertentangan dengan tujuan umum hukum pidana yaitu melindungi masyarakat. Relevan dengan penjelasan Koeswadji bahwa tujuan pokok pemidanaan adalah memperbaiki kerugian yang diderita masyarakat akibat kejahatan.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.