Pandemi COVID-19 yang telah melanda Indonesia sejak Maret lalu. Tidak saja berdampak pada sektor kesehatan, perekonomian, politik melainkan juga berpengaruh pada bidang penegakan hukum, khususnya dalam proses persidangan di lembaga peradilan. Sebelum diterapkan era new normal, persidangan perkara pidana, perdata, tata usaha negara (TUN) digelar virtual. Ada perubahan cara berhukum di Indonesia, terutama sejak dilanda COVID-19.
Proses persidangan yang bertahun-tahun digelar konvensional. Penasihat hukum, jaksa, hakim dan terdakwa bertemu dalam sebuah persidangan yang terbuka untuk umum. Sejak pandemi melanda, persidangan tatap muka harus diganti virtual dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi.
[rml_read_more]
Hakim, jaksa dan penasihat hukum tidak harus bertemu dengan terdakwa di dalam persidangan. Mata hanya menatap layar monitor besar yang ditaruh di depan persidangan. Hakim dan jaksa berkomunikasi dengan terdakwa dengan bantuan teknologi dan komunikasi. Penasihat hukum pun demikian, ia berada di lembaga pemasyarakatan (lapas) mendampingi kliennya.
Persidangan virtual sesungguhnya sudah lama diterapkan hakim Mahkamah Konstitusi (MK). Saat pandemi melanda, pengadilan umum, pengadilan agama, pengadilan militer dan pengadilan tata usaha negara (PTUN) harus pula menerapkan persidangan secara virtual. Jauh sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) sudah mengeluarkan aturan tentang tata cara persidangan secara elektronik atau disebut dengan e-court.
Persidangan secara elektronik untuk pendaftaran gugatan (baca: gugatan TUN), jawaban, replik dan duplik, kesimpulan, dan putusan. Kesemuanya dilakukan secara elektronik. Para pihak tidak perlu datang ke pengadilan TUN. Untuk agenda bukti surat maupun saksi/ahli masih dilakukan secara konvensional. Alat bukti itu masih diperiksa, dan dinilai majelis hakim. Namun, persidangan secara virtual menjadi penting dan urgen ketika bangsa ini dilanda pandemi. Semua orang terpaksa menjaga jarak agar tidak tertular. Tak pelak, persidangan virtual pun digelar.
Tulisan ini hendak berisi tiga hal penting. Pertama, bagaimana penegak hukum merespon perkembangan sidang virtual atau disrupsi pengadilan ini? Kedua, apa dampak positifpersidangan virtual? Ketiga, apa tantangan Komisi Yudisial (KY) ke depan?
Respon Penegak Hukum
Disrupsi teknologi yang kian maju dan berkembang menuntut semua segi dan bidang kehidupan harus dapat menyesuaikan dan beradaptasi dengan cepat, termasuk bidang hukum di Indonesia. Lembaga peradilan pun didesak untuk berubah. Respon penegak hukum terhadap digitalisasi peradilan ini pun beragam. Ada yang gagap dan ada yang begitu cepat beradaptasi. Perasaan gagap teknologi itu tidak saja menimpa pencari keadilan dalam proses persidangan akan tetapi kerap juga melanda penegak hukum, terutama kalangan advokat/pengacara dalam membela kliennya di persidangan.
Banyak yang belum paham tentang bagaimana menggunakan teknologi untuk sidang virtual itu. Penasihat hukum harus berada di mana? Apakah di pengadilan, di LP atau berada di rumah? Dua pertanyaan ini kerap terdengar dalam percakapan penegak hukum saat ini. Bahkan, untuk persidangan secara elektronik saja masih banyak advokat yang belum terdaftar di e-court pengadilan. Tergugat dalam sidang TUN, lebih memilih sidangkonvensional karena uang surat perintah perjalanan dinas (SPPD)-nya dapat segera dicairkan.
Sidang virtual sulit untuk mengklaim SPPD. Bagi advokat ternyata sulit pula untuk mengklaim honorarium pada klien. Karena selama ini, honorarium diterima manual (langsung) bila sidang. Namun, saat ini dengan digitalisasi peradilan (sidang virtual) advokat tak selalu hadir di persidangan. Dengan virtual, dia dapat saja berada di rumahnya, hakim, jaksa di pengadilan dan terdakwa berada di Lapas mendampingi kliennya.
Kegagapan sidang virtual biasanya menyerang advokat yang sudah tua sedangkan advokat muda, tentu saja sangat fasih menggunakan perangkat persidangan virtual ini. Bahkan, mereka enggan bila persidangan dilakukan secara konvensional. Namun yang jelas, persidangan virtual memberikan kemudahan bagi penegak hukum dan pencari keadilan. Di tengah tekanan COVID-19 yang belum melandai sidang virtual adalah sebuah pilihan yang sangat tepat saat ini. Ini adalah lompatan besar dalam bidang penegakan hukum.