Sebenarnya, dengan syarat sepanjang masih hidup, diakui, diatur dalam undang-undang, serta sesuai dengan prinsip NKRI, merupakan syarat yang cukup memberatkan bagi masyarakat hukum adat untuk mendapatkan status legal standing. Seharusnya, penghormatan dan pengakuan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat dapat dilaksanakan dengan semudah mungkin seperti membuat KTP ataupun pembuatan sertifikat tanah. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, syarat tersebut dijadikan alasan bagi penguasa maupun pengusaha agar masyarakat hukum adat tidak mudah memperoleh hak-haknya.
Belum lagi masih terdapat masyarakat yang meyakini bahwa hukum adat merupakan warisan masa lalu yang selalu berorientasi pada masa lalu pula. Kemudian, membuat anggapan bahwa hukum adat tidak sesuai dengan era seperti sekarang yang memasuki era modernisasi dan globalisasi. Pandangan ini mungkin benar tetapi tidak sepenuhnya benar.
Dikatakan benar karena memang disadari bahwa hukum adat bersifat tradisional, sedangkan di era globalisasi kehidupan menuntut agar segala sesuatu bersifat modern. Tidak seluruhnya benar, karena kenyataannya terdapat peraturan perundang-undangan yang terbentuk dari hukum adat melalui proses introduksi yang salah satu contohnya adalah penerapan Alternative Dispute Resolution (ADR) sebagai kontruksi dari kultur penyelesaian permasalahan di hukum adat.
Sejatinya, kedinamisan dan fleksibilitas hukum adat itu ada karena hukum adat merupakan hukum yang hidup karena lahir dan tumbuh berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat. Inilah mengapa hukum adat akan selalu sebagai hukum yang hidup (the living law) di tengah-tengah kehidupan masyarakat pendukungnya. Hal ini juga selaras dengan pernyataan Prof. Soepomo, dimana hukum adat akan terus menerus tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri.
Selain itu, dalam sejarah masyarakat Indonesia, hukum adat masih tetap mempertahankan nilai tradisional yang dimilikinya dan hukum adat dalam waktu yang sama juga dapat menerima perubaban yang mempengaruhinya. Disinilah letak kedinamisan dan fleksibilitas dari hukum adat.
Sayangnya, paradigma yang muncul belakangan ini adalah paradigma dimana hukum adat dapat hilang sesuai dengan kebutuhan zaman. Terlebih, adanya pembangunan ekonomi dan investasi secara masif yang mulai mengubah keberadaan tanah masyarakat hukum adat secara bertahap. Pada sekarang ini yang terjadi adalah tanah-tanah masyarakat hukum adat mulai dieksploitasi antara penguasa dan pengusaha yang hasilnya berupa perampasan tanah untuk pertambangan ataupun pembukaan perkebunan dengan keuntungan yang hanya dinikmati oleh kalangan tertentu. Sedangkan nasib masyarakat hukum adat dibiarkan dan kurang menjadi perhatian yang serius oleh pemerintah adanya hal tersebut sampai sekarang.
Intensifnya tindakan tersebut juga diperparah karena mulai terjadi pergeseran paradigma negara kesejahteraan sendiri. Sering kali negara dalam kebijakannya berorientasi pada kesejahteraan, kemudian “hak menguasai negara” terkoneksi dengan kesejahteraan masyarakat termasuk masyarakat hukum adat dimana agar bisa merasakan pembangunan ekonomi.