Sebagaimana diketahui bersama bahwasanya Indonesia merupakan negara hukum, hal ini jelas dirumuskan dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Sebagai negara hukum, Indonesia menjunjung tinggi prinsip kepastian hukum, prinsip keadilan, dan prinsip kemanfaatan. Hal tersebut telah ditegaskan dalam Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 bahwa fungsi kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka dalam menegakkan hukum dan keadilan. Begitu pula dalam Pasal 28D Ayat (1) mengenai hak setiap orang atas kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di hadapan hukum serta memperoleh pengakuan, jaminan, juga perlindungan. Serta dalam Pasal 28H juga menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak atas jaminan sosial untuk mengembangkan diri secara utuh.
Hukum untuk Manusia atau Manusia untuk Hukum?
Adapun suatu prinsip kepastian hukum dapat terwujud apabila telah terdapatnya suatu hukum terhadap suatu peristiwa yang terjadi. Adanya kepastian hukum ialah agar masyarakat dapat lebih tertib. Prinsip kepastian hukum sangat erat dengan pandangan-pandangan positivisme hukum, yakni satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang, sedangkan peradilan hanyalah sebagai penerapan undang-undang pada peristiwa hukum (Rasdjidi dan Rasjidi, 2001:42). Lalu, mengenai prinsip keadilan yang menjadi harapan bagi masyarakat dalam penegakan hukum. Di samping itu juga terdapat prinsip kemanfaatan, yakni suatu penegakan hukum mesti mempunyai tujuan berdasarkan manfaat tertentu. Ringkasnya, hukum yang baik adalah hukum yang memberikan kebahagiaan bagi banyak orang.
Namun, hal yang perlu diperhatikan ialah jika hukum hanya menitikberatkan pada keadilan, sedangkan kemanfaatan juga kepastian hukum dikesampingkan, maka penegakan hukum tersebut tidak dapat berlangsung dengan optimal, begitu pula sebaliknya. Akan tetapi, apabila prinsip keadilan dan kepastian hukum mengalami dilematik dalam penegakan hukum (disatu sisi mesti memenuhi kepastian hukum tetapi keadilan tidak dapat dicapai ataupun sebaliknya), maka prinsip yang harus diutamakan ialah keadilan. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Satjipto Raharjo bahwa hukum ialah untuk manusia sebagai pegangan, keyakinan dasar, dan tidak memandang hukum sebagai suatu yang sentral dalam berhukum, melainkan manusia memiliki peran penting sebagai titik pusat perputaran, dalam kata lain adanya hukum untuk manusia bukan manusia untuk hukum (Halim, 2009:390).