Representasi Negara di Bidang Hukum Ketenagakerjaan
Sifat hubungan hukum yang terjadi antara pengusaha dengan pekerja pada hakekatnya bersifat privat sebab hanya melibatkan dua pihak yakni pengusaha dan pekerja. Di sisi lain, dengan kedudukan pengusaha yang selalu memberi perintah dan menempatkan pekerja yang menerima perintah maka hubungan kedua belah pihak tersebut ialah subordinasi (Susilo, 2017). Kondisi demikian menciptakan perbedaan paradigma antara pengusaha dengan pekerja terkait upah. Bagi pekerja, upah merupakan hak setelah mencurahkan tenaga, pikiran, dan waktu dalam bekerja atau memberikan jasa, sedangkan bagi pengusaha, upah merupakan biaya produksi yang wajib untuk dikeluarkan (Akhmad, 2018). Sementara itu, upah berdasarkan Pasal 1 angka 30 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) didefinisikan sebagai:
“Hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.”
Sejatinya upah memiliki kedudukan yang strategis dalam bidang ketenagakerjaan. Hal ini karena terkandungnya sifat sosial karena upah digunakan untuk memenuhi kebutuhan sekaligus meningkatkan taraf hidup diri dan keluarga pekerja (Syarifa, 2014). Meskipun begitu, dengan adanya perbedaan paradigma mengenai upah maka juga berpotensi menimbulkan perselisihan hubungan industrial.
Di sinilah pemerintah kemudian hadir untuk mengharmoniskan kepentingan para pihak. Kehadiran pemerintah turut untuk mewujudkan sifat hukum ketenagakerjaan yakni untuk melindungi pihak yang lemah dan menempatkan mereka pada kedudukan yang layak bagi kemanusiaan (Endah, 2008). Kehadiran pemerintah merupakan wujud pelaksanaan cita-cita bangsa Indonesia yaitu untuk memajukan kesejahteraan umum. Terlebih di dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Bentuk campur tangan yang dimaksud salah satunya ialah melalui aturan pengupahan (Susilo, 2017). Kehadiran pemerintah juga selaras dengan yang diungkapkan Agus (2004) bahwa, “Negara akhir-akhir ini cenderung memperbanyak peraturan-peraturan hukum pemaksa (dwingend recht) demi kepentingan umum untuk melindungi kepentingan yang lemah.”
Terkini, pengaturan hukum ketenagakerjaan memasuki babak baru dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) yang mengubah, menghapus, dan menambah berbagai norma baru yang ada pada UU Ketenagakerjaan. Dalam undang-undang itu, pemerintah mengatur adanya aturan upah minimum untuk membayar pekerja yang wajib untuk dipatuhi oleh pengusaha. Ketentuan ini tercantum di Pasal 88E ayat (2) UU Cipta Kerja yang menentukan bahwa, “Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum.” Upah minimum yang dimaksud ialah upah minimum provinsi yang telah ditetapkan oleh Gubernur sebagaimana yang diatur dalam Pasal 88C ayat (1) UU Ketenagakerjaan. Bahkan di ayat (2) dalam pasal yang sama memberikan kewenangan bagi Gubernur untuk dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu.
Aturan yang disusun oleh pemerintah sejatinya dilakukan sebagai safety net agar kesejahteraan pekerja tidak terabaikan akibat dari kedudukan pekerja yang subordinasi terhadap pengusaha. Dalam tipe hukum ketenagakerjaan yang diungkapkan oleh Tamara Lothion (Ujang, 2012), dapat dikatakan bahwa pemerintah menganut sistem tipe hukum ketenagakerjaan yang korporatis karena pemerintah membuat berbagai peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan sebagai usaha untuk melakukan pembinaan hukum nasional. Akibat hukumnya ialah pengusaha dalam bidang usaha apapun wajib untuk memenuhi ketentuan upah minimum, termasuk di sektor Usaha Mikro dan Kecil (UMK). Bahkan dalam Pasal 185 ayat (1) UU Cipta Kerja mengatur sanksi pidana bagi pengusaha yang membayar upah di bawah upah minimum.
Upah Minimum di Sektor Usaha Mikro dan Kecil (UMK)
Berdasarkan data yang dirilis oleh pemerintah (indonesia.go.id, 2020), jumlah UMKM di Indonesia hingga tahun 2018 ialah sebanyak enam puluh empat juta unit usaha atau 99,99% dari total unit usaha di Indonesia. Sumbangan terbesar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia 2018 jugaberasal dari sektor UMKM yang menyumbang hingga Rp8.573,9 triliun atau sekitar 57,8%. Namun dengan adanya ketentuan larangan membayar upah di bawah ketentuan upah minimum maka hal ini menjadi sebuah problematika yang dilematis, khususnya bagi sektor UMK.
Realitanya UMK dalam menjalankan usahanya memiliki problematika yang sangat mendasar yakni minimnya aspek legalitas bagi UMK dalam berusaha sehingga tidak terjangkau oleh lembaga-lembaga pembiayaan (Nanik, 2018) sehingga hal ini berpengaruh terhadap performa keuangan UMK yang berujung pada ketidaksanggupan membayar pekerja dengan upah minimum yang telah ditentukan. Tidak hanya itu, selama ini UMK dalam menjalankan usahanya juga masih menggunakan cara-cara tradisional sebab sumber daya manusia yang belum memadai (Yuli, 2016). Tentu aturan ini berdampak terhadap kelangsungan berusaha pelaku UMK karena dalam menjalankan usahanya akan dibayang-bayangi sanksi pidana jika membayar upah bagi pekerja di bawah ketentuan upah minimum.
Kondisi demikian tidak selaras dengan filosofis penetapan upah minimum oleh pemerintah untuk membuat suatu safety net. Padahal UMKM memiliki kontribusi besar terhadap penyerapan tenaga kerja Indonesia hingga seratus tujuh belas juta orang atau 97% dari total tenaga kerja Indonesia (indonesia.go.id, 2020). Problematika yang dilematis tersebut akhirnya direspons oleh pemerintah dengan mengecualikan ketentuan upah minimum terhadap sektor Usaha Mikro dan Kecil (UMK). Pengecualian ini termaktub di Pasal 90B ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang menentukan bahwa, “Ketentuan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat (1) dan ayat (2) dikecualikan bagi Usaha Mikro dan Kecil.” Upah di sektor UMK akan didasarkan pada kesepakatan antara pengusaha dan pekerja yang besarannya sekurang-kurangnya didasarkan pada data persentase rata-rata konsumsi masyarakat yang dirilis oleh lembaga yang berwenang di bidang statistik.
Kesimpulan
Aturan tersebut pada dasarnya memberi kepastian hukum bagi kedua belah pihak. Data yang dilansir oleh lembaga yang berwenang akan menjadi acuan untuk melakukan kesepakatan pemberian upah. Dengan begitu, pengusaha tidak lagi terancam sanksi pidana dan pekerja juga tetap terjamin penghidupannya. Tentu aturan ini membutuhkan sosialisasi yang massif oleh pemerintah agar aplikatif dan terealisasi. Keberlangsungan UMK yang stabil akan tetap dapat memberi lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekaligus pemasukan bagi PDB Indonesia. Terlebih dengan terjadinya pandemi Covid-19 secara global, keberadaan UMKM menjadi salah satu tumpuan perekonomian Indonesia yang perlu diperkuat di tengah keadaan abnormal seperti sekarang (mediaindonesia.com, 2020) sekaligus sebagai agenda percepatan pemulihan ekonomi dan memperkuat landasan pembangunan berkelanjutan (Yuli, 2016) sehingga cita-cita untuk memajukan kesejahteraan umum dapat pula tercapai.
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Buku
Pujiastuti, Endah, (2008), Pengantar Hukum Ketenagakerjaan, Semarang: Semarang University.
Jurnal
Junaedi, Akhmad, (2018), “Implementasi Kebijakan Pengupahan Pada Usaha Mikro dan Kecil”, Jurnal Ketenagakerjaan, Vol. 13, No. 1.
Darma, Susilo Andi, (2017), “Kedudukan Hubungan Kerja: Berdasarkan Sudut Pandang Ilmu Kaidah Hukum Ketenagakerjaan dan Sifat Hukum Publik dan Privat, Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 29, No. 2.
Suci, Yuli Rahmini, (2016), “Pengembangan UMKM dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Pedesaan”, Jurnal Development Vol. 2, No. 2.
Mahila, Syarifa, (2014), “Kebutuhan Hidup Layak dan Pengaruhnya terhadap Penetapan Upah Minimum Provinsi Ditinjau dari Hukum Ketenagakerjaan”, Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi, Vol. 14, No. 2.
Charda, Ujang S, (2012), ”Reorientasi Reformasi Model Hukum Ketenagakerjaan dalam Kebijakan Pemerintah”, Jurnal Ilmu Hukum Syiar Hukum, Vol. XIV, No. 1.
Website