Amandemen UUD 1945 mengusulkan untuk dibentuknya dewan pengawas MA, dengan tujuan agar tidak ada lembaga yang super power. Artinya, tidak ada lembaga yang bisa mengawasi hakim pengadilan negeri maupun hakim MA. Hamdan Zoelva (Fraksi Partai Bulan Bintang) mengusulkan agar ada lembaga baru yang tugasnya adalah mengawasi kinerja hakim. Lembaga tersebut seperti dewan kehormatan hakim yang mana menilai kinerja hakim dan merekomendasikan apabila hakim termasuk hakim agung melakukan pelanggaran, mereka diberhentikan atau tidak.
Ide itu berawal dari kesepakatan Hamdan Zoelva dengan Patrialias Akbar akan lembaga kekuasaan kehakiman bersifat independen terlepas dari kekuasaan pemerintah. Hamdan menginginkan untuk diperkuat kedudukan dewan kehormatan ini dalam konstitusi. Bukan berarti kekuasaan kehakiman yang bebas dan independen kemudian bebas sebebas- bebasnya, namun kebebasan itu dibatasi oleh aturan hukum dan Dewan Pengawas Yudisial (DPY) yang mengawasi segala tingkah laku hakim diseluruh tingkatan pengadilan.
Pada sisi lain, I dewa Gede Palguna dari PDI Perjuangan mengemukakan bahwa dalam pengawasan, lembaga yang berwenang adalah Mahkamah Agung. Keberadaan KY sebagai badan yang mandiri hanya untuk masalah pengangkatan hakim, diusulkan oleh KY Nasional kepada Presiden.
Senada dengan pakar I Dewa Gede Atmadja, yang pada rapat PAH I BP MPR ke-9 disampaikan bahwa tidak perlu adanya lembaga yang mengontrol kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman cukup dikontrol dengan peraturan perundang-undangan. Misalnya melalui proses rekrutmen hakim. Namun akhirnya, I Dewa Gede setuju bahwa tidak ada pengawasan dalam super structure tetapi ada lembaga yang melakukan pengawasan soft control.
Penjelasan disampaikan oleh Soetjipto dari Golongan Utusan bahwa yang diawasi bukan lembaga MA tetapi adalah etika dan perilaku hakim. Bahkan, adanya dewan kehormatan sendiri merupakan usulan dari MA yang meminta dewan kehormatan diatur di dalam konstitusi. Di akhir pembahasan melalui Slamet Efendy Yusuf, ketua rapat pembahasan pada perubahan kedua sepakat dengan istilah dan adanya dewan kehormatan dalam bab kekuasan kehakiman. Pada intinya, diaturnya ketentuan untuk melakukan menegakkan kehormatan, etika, dan prilaku hakim dimana istilah ini lebih soft dari pada istilah pengawasan.
Namun, masih belum ditemukan titik temu karena masih ada kerancuan tugas KY dan Dewan Kehormatan. Dalam pembahasan perubahan ketiga, Hobbes Sinaga menyoal kenapa keduanya itu tidak digabung saja. Apakah nanti KY hanya berwenang mengusulkan hakim agung saja? Sinaga menilai bahwa mereka yang mengangkat dan menghentikan mereka juga melakukan pengawasan.
Meskipun, hal tersebut bukan pengawasan dalam ranah yudisial tetapi salam rangka menjaga marwah dan martabat pejabat hakim agung. Soetjipto berpendapat bahwa MA diangkat oleh MPR atas usul KY, lebih luas lagi. Oleh karena itu, KY hendaknya tidak hanya melakukan pengangkatan dan pemberhentian hakim melainkan juga lebih essensif lagi, yaitu melakukan tugas pengawasan atau dewan kehormatan. Akan tetapi, rumusan KY pada PAH I BP MPR 2000 belum dapat membuahkan hasil.
Terlepas dari perdebatan tersebut, hal pentingnya adalah dihasilkannya Pasal 24B dalam UUD 1945 hasil perubahan. Sejak saat itu, KY memiliki wewenang untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan prilaku hakim. Apabila dikaitkan dengan gagasan saat pembahasan, KY memiliki wewenang untuk mengawasi semua hakim, termasuk hakim agung.
Namun, dalam Putusan MK No. 5/PUU- IV/2006 pengawasan KY terhadap hakim MA dinyatakan bertentangan dengan UUD karena mengganggu kemerdekaan MA. Padahal, menurut sejarahnya, KY hadir sebagai lembaga permintaan dari MA, yang membutuhkan dewan kehormatan. Selain itu, dalam jawaban termohon saat persidangan uji di MK disebutkan bahwa KY bertugas untuk melakukan pengawasan perilaku hakim di dalam dan di luar pengadilan.
Mahfud MD mengatakan bahwa berdasarkan risalah MPR tetang lahirnya KY, diakibatkan oleh realitas bahwa pengawasan MA kepada hakim agung, dan semua hakim secara internal lemah. Kelemahan ini sejatinya sudah dibahas pada rapat PAH I ketiga BP MPR tanggal 6 Desember 1999 yang dipimpin oleh Jakob Tobing. Mahfud menilai politik hukum yang terjadi ketika itu bahwa KY memang dipersiapkan untuk mengawasi MA.
Akan tetapi, terdapat pendekatan contextualism menurut Philipus M. Hadjon. Pertama, dengan menggunakan prinsip asas noscitur a sociis atau a thing is know by its associttes (arti sebuah kata ditentukan oleh konteksnya). Kedua, prinsip asas ejusdem generis (of the same class). Kemudian diwujudkan dengan pertanya apa dalam konteks hakim agung termasuk hakim yang terkait wewenang KY kedua? Hakim agung tidak dapt digolongkan dengan kelompok hakim terkait wewenang KY kedua. Jikalau maksud hakim dalam pasal itu mencakup hakim agung, Pasal 24B harus dinyatakan secara tegas. Ketiga, asas expression unius exclusio alterius, yang bermakna the expression or the inclusion of one thing implies the exclusion of another. Sehingga, ketika secara konteks hakim dalam Pasal 24B tidak bisa menjangkau hakim agung, Pasal 1 butir 5 UU No. 22 Tahun 2004 tentang KY harus dibatalkan karena tidak sesuai dengan UUD.
Berbeda sekali dengan tafsir yang diberikan Deny Indrayana yang dengan tafsir konstitusi, Pasal 24B mencakup seluruh hakim, baik hakim agung, hakim konstitusi, dan hakim ad hoc. Kemudian, prinsip independensi tidak bisa berjalan sendiri, namun wajib bersama dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas.
Selain itu, jika kemudian hakim agung menafsirkan hakim dalam Pasal 24B tidak termasuk dirinya, sejatinya ia kuat inkonsisten. Sebab, kemandirian kekuasaan kehakiman tidak hanya dimiliki oleh hakim agung saja. Akan tetapi, juga dimiliki oleh hakim di tingkat pertama dan banding. Jika kemudian hakim agung merasa tidak boleh diawasi maka ini quad non yakni tidak berlaku pula pada hakim di bawahnya.
Sementara itu, pemerintah dalam putusan tersebut berpendapat bahwa hakim yang ada dalam Pasal 24B tidak menckup hakim agung dan hakim konstitusi. Karena, tidak dapat menjangkau hakim agung dan hakim konsititusi. Hal ini akan jelas jika dilihat dari segi pengangkatan hakim agung dan hakim konstitusi. Cara pengakatan hakim agung dan konstitusi tidak harus melalui hakim tingkat pertama dan tingkat banding. Bahkan, KY tidak berwenang mengawasi hakim ad hoc.
Namun, pada sisi lain, pemerintah menilai bahwa masalah sengketa ini sejatinya sudah selesai di putusan MK No. 017/PUU-III/2005 pada 6 Januari 2006. Terjadi pemisahan ruang lingkup pemisahan yaitu pengawasan MA bersifat internal dan pengawasan KY bersifat external. Hanya saja pemerintah tidak sepakat jika KY mengawasi hakim MA, MK, dan Ad Hoc.
Adapun putusan MK menilai bahwa Pasal 24B kata hakim mencakup hakim agung tidaklah beralasan. Karena, tidak ada dasar yang meyakinkan apakah hakim dalam Pasal 24B mencakup hakim MA. Namun anehnya adalah MK menilai bahwa KY berwenang mengawasi hakim agung secara eksternal tidak bertentangan dengan UUD 1945. Konsekuensi putusan tersebut adalah hakim agung tidak termasuk sebagai cakupan hakim yang diawasi secara eksternal.
Sementara pada perkembangannya, terdapat UU No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. Dalam Pasal 32A dijelaskan bahwa pengawasan dibagi menjadi dua yaitu pengawasan internal (MA) dan pengawasan eksternal (KY). Menurut Pasal 32A ayat 2, KY hanya berwenang mengawasi hakim agung, tetapi dalam penjelasan umum paragraf terakhir dijelaskan bahwa KY juga berwenang mengawasi hakim secara eksternal. Hanya saja, MA di bidang pelaksanaan tugas yudisial, administrasi, dan keuangan. Sementara KY pengawasan pada perilaku hakim, termasuk hakim agung.
Selain itu, UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman melalui Pasal 40-43 juga dituliskan bahwa kewenangan KY dalam mengawasi perilaku hakim secara eksternal, bahkan KY diperbolehkan menganalisis putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap sebagai dasar saran melakukan mutasi hakim.
Akan tetapi, berdasarkan Pasal 20 Jo. Pasal 1 butir 5 UU No. 18 tahun 2011 Tentang Perubahan UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial, KY hanya berwenang mengawasi prilaku hakim tidak termasuk hakim agung dan hakim konstitusi. Koalisi pemantau peradilan dalam tulisan memberikan gambaran ketidakharmonisan KY dan MA. Dari awal pemebentukanya hingga 2016, sejatinya konflik yang terjadi hanya dipemukaan saja. Mereka merekomendasikan perlunya memikirkan kembali kedudukan KY dalam sistem kekuasaan kehakiman.
Sementara itu, Ketua KY Jaja Ahmad Jayus menginginkan revisi UU KY karena banyak pelanggaran etik hakim yang direkomendasikan kepada MA tidak diperhatikan. Sementara itu, Sunarto menegaskan rekomendasi KY sudah masuk teknis sehingga bersinggungan dengan kewenangan hakim. Sehingga, KY seyogyanya KY bersinergi dengan MA, bukan malah bersaing sebagaimana yang terjadi selama ini.
Dari pembahasan di atas, tulisan ini menilai adan area abu-abu dalam pengawasan KY. Selain itu, juga terdapat inkonsistensi undang-undang sehingga rentan terjadi multitafsir. Pada faktanya, Putusan MK terkait KY dan MA tidak menjadi landasan dalam perundang-undangan. Terlihat adanya ketidakjelasan pada Pasal 24B UUD.
Hemat penulis, hanya amandemen UUD yang bisa menyelesaikan permasalahan ini. Sebab, ada ketidaksesuaian antara Naskah Komprehensif Buku 6 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai gambaran Politik Hukum dengan Putusan MK 005/PUU-IV/2006. Lebih dalam lagi, bisa jadi MK masih ragu dengan maksud kata hakim dalam Pasal 24B UUD 1945. Oleh Karena itu, harapan penulis KY segera keluar dari area abu-abu dan menjadi lembaga yang berintegritas untuk menyongsong masa depan pengadilan di Indonesia yang lebih baik.
Mantap sahabat
Bagus