Selain itu, hal tersebut dapat mempengaruhi tercapainya tujuan sistem pemasyarakatan. Esensi pemasyarakatan yang dicita-citakan undang-undang seolah memudar karena dihadapkan dengan permasalahan kondisi hukum yakni overcapacity tahanan dan narapidana di Indonesia.
Refleksi kondisi hukum di Indonesia memunculkan pertanyaan lain yang mengharapkan solusi atas permasalahan kehidupan hukum yang ada. Perlu diperhatikan mengenai konsepsi pemasyarakatan yang dijelaskan dalam Pasal 1 angka 1 undang-undang pemasyarakatan. Terdapat frasa pemasyarakatan sebagai bagian akhir sistem pemidanaan dalam pasal tersebut menafsirkan bahwa pemasyarakatan hanya sebagai tempat pembuangan akhir sistem peradilan pidana.
Ditemukan celah yang perlu diperbaiki guna mengatasi permasalahan ini. Celah tersebut koheren dengan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan bulan Januari 2021, terdapat 26.848 narapidana dengan status pidana khusus pengguna narkoba. Angka tersebut berada dalam peringkat 2 setelah bandar atau pengedar narkoba. Kondisi hukum tersebut perlu diperbaiki secara komprehensif.
Paradigma Retributif yang Masih Dianut Indonesia
Hukuman pidana bagi pelaku delik menyisihkan pertanyaan mengenai proses penyelesaian perkara hingga sanksi yang dijatuhkan. Retributivisme merupakan paradigma yang masih dianut Indonesia dalam menanggulangi kejahatan. Hal ini sependapat dengan Sri Wiyanti Eddyono yang mengemukakan pandangan retributif digunakan dalam penyelesaian perkara pidana dengan memberikan hukuman bagi pelaku.
Fokus hukuman pidana bagi pelaku, maka dalam paradigma ini mengesampingkan pemulihan kerugian dan penderitaan korban. Hal tersebut tidak sesuai dengan tujuan politik kriminal sebagaimana disampaikan Barda Nawawi bahwa hakikat penanggulangan kejahatan ialah integral dari perlindungan masyarakat. Selain itu, juga bertentangan dengan tujuan umum hukum pidana yaitu melindungi masyarakat. Relevan dengan penjelasan Koeswadji bahwa tujuan pokok pemidanaan adalah memperbaiki kerugian yang diderita masyarakat akibat kejahatan.
Paradigma retributif tidak menjamin menekan angka kejahatan di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dalam penjelasan sebelumnya yang menyajikan data bahwa kejahatan meningkat berimplikasi pada kondisi hukum yaitu overcapacity rutan maupun lapas. Paradigma keadilan retributif harus bergeser ke paradigma keadilan restoratif. Kemunculan restorative justice bukan tanpa alasan, hal ini berkaitan dengan ketidakberhasilan penerapan teori pembalasan yang diterapkan di Indonesia untuk menekan kejahatan dan tidak memperhatikan pemulihan korban. Senada dengan pendapat Wesley Cragg yang berupaya mengubah pemidanaan dari retributif ke restoratif.
Restorative Justice: Ius Constituendum Hukum Pidana
Marshall mendefinisikan restorative justice sebagai proses pelaku dan korban yang terlibat dalam kejahatan secara bersama-sama menyelesaikan permasalahan hingga dampak yang akan datang. Sependapat dengannya, Wayne LaFave mengemukakan bahwa keadilan restoratif ialah pelaku dan korban kejahatan bersama-sama menyelesaikan permasalahan.
Joshua Dressler menambahkan dengan tegas bahwa restorative justice memperhatikan kepentingan korban dan masyarakat supaya pelaku dapat bertanggungjawab atas kejahatannya kepada korban. Bentuk tanggung jawab tersebut meliputi pemulihan kerugian materil maupun immateril korban, secara bersama mau menyelesaikan permasalahan yang dapat melindungi masyarakat.
Paradigma keadilan restoratif dinilai baik apabila diimplementasikan dalam hukum pidana di Indonesia karena memuat nilai dasar yang memperkuat. Pertama, keadilan restoratif memperhatikan pemulihan korban dibandingkan dengan hukuman sebagai pembalasan bagi pelaku kejahatan. Kedua, mengharuskan pelaku kejahatan untuk bertanggungjawab dengan korban yang didorong dengan keterlibatan masyarakat dalam menyelesaikan permasalahan.