Munculnya ancaman sanksi pidana bagi para penolak vaksin menuai beragam kritik dari masyarakat. Sebagian masyarakat menilai bahwa hal ini merupakan bentuk pemaksaan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Mendukung hal ini, integritas terhadap tubuh seseorang sebenarnya juga telah dilindungi oleh Undang-Undang No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (UU Kesehatan), yaitu pada Pasal 5 yang berbunyi bahwa, “Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.”
Selain itu, dalam Pasal 7 Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) serta Deklarasi Universal tentang Bioetika dan Hak Asasi Manusia juga dinyatakan bahwa intinya intervensi medis yang akan dilakukan kepada seseorang hanya boleh dilakukan apabila sebelumnya telah mendapat persetujuan dan tanpa paksaan berdasarkan informasi memadai yang telah diberikan. Persetujuan tersebut juga harus dinyatakan dan dapat ditarik kembali kapan saja dan dengan alasan apa pun. Oleh karena itu, lebih tepat apabila disimpulkan bahwa vaksinasi Covid-19 bukan bersifat wajib, melainkan sukarela sehingga seharusnya tidak dapat dijatuhi hukuman pidana.
Apabila merujuk pada UU Kekarantinaan, masyarakat hanya diwajibkan untuk mematuhi kegiatan kekarantinaan kesehatan, bukan kewajiban vaksinasi Covid-19. Hal ini dapat dilihat dari definisi kekarantinaan kesehatan yang terdapat dalam Pasal 1 UU Kekarantinaan, yaitu adalah upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, UU Kekarantinaan lebih cenderung mengatur aktivitas sosial masyarakat yang kemudian terbagi dalam beberapa bentuk karantina, yaitu Karantina Wilayah, Karantina Rumah, Karantina Rumah Sakit, dan Pembatasan Sosial Berskala Besar. Selain itu, pengaturan mengenai vaksin juga tidak terdapat dalam UU Kekarantinaan.
Berdasarkan pembahasan diatas, maka penjatuhan sanksi pidana bagi masyarakat yang menolak vaksinisasi seharusnya menjadi langkah terakhir yang diambil oleh pemerintah. Selain karena dapat mengancam HAM, pemberian sanksi pidana ini juga akan berdampak buruk dengan menimbulkan rasa antipati atau ketidaksukaan pada diri masyarakat terhadap pemerintah. Daripada terburu-buru memberikan sanksi pidana, alangkah baiknya apabila pemerintah terlebih dahulu menghilangkan rasa takut dan ragu yang mengakibatkan masyarakat enggan untuk divaksin.
Hal ini dapat dilakukan dengan memasifkan edukasi bagi masyarakat mengenai keamanan vaksin dan urgensi dari diadakannya program vaksinisasi itu sendiri. Selain itu, mengusut para penyebar informasi hoaks seputar vaksin juga harus menjadi prioritas agar tidak menyebabkan misinformasi di masyarakat. Dalam memasifkan program vaksinisasi sendiri, pemerintah sebaiknya mengambil langkah persuasif.
Salah satunya dapat dilakukan dengan menawarkan pemberian insentif bagi masyarakat yang bersedia untuk divaksin yang dapat berupa bantuan kebutuhan pokok atau bantuan lainnya. Dengan merangkul dan membangun kepercayaan dengan masyarakat tentunya akan memberikan hasil yang lebih baik terhadap keberhasilan dari program vaksinisasi itu sendiri.