Terdapat beberapa tindakan yang dapat dikualifikasi sebagai cyberbullying, seperti memposting foto memalukan terhadap seseorang, membuat akun palsu dengan mengatasnamakan seseorang dengan maksud jelek, menghasut, menghina, mencemooh dalam bentuk gambar maupun tulisan (komentar) (Unicef, 2019). Kemudahan teknologi, menjadikan pelaku semakin mudah untuk melakukan tindakannya.
UU ITE telah merumuskan cyberbullying sebagai tindakan perundungan, sebagaimana yang diatur pada Pasal 28, Pasal 29, dan Pasal 45. Namun, pada tingkat penegakkan hukumnya masih menimbulkan paradoks, sehingga berakibat pada ketidakpastian hukum dalam hal cyberbullying. Apabila ditelaah, setidaknya terdapat beberapa aspek yang menjadi dasar munculnya paradoks tersebut.
Pertama, secara yuridis, tidak adanya kejelasan rumusan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. UU ITE tidak mampu seutuhnya mengantarkan pada tertib penegakkan hukum. Ketidakjelasan dalam merumuskan makna cyberbullying dalam UU ITE, menjadikannya seolah “dipersamakan” dengan tindakan pencemaran nama baik, atau mengarah pada Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Hal ini terbukti, salah satunya dengan kasus yang pernah Penulis dampingi. Ketika seorang remaja berusia sekitar 18 tahun, melakukan pelaporan pada kepolisian resort atas dugaan cyberbullying. Namun, pihak kepolisian setelah melakukan penyelidikan, justru mengarahkan pada tindakan pencemaran nama baik yang diatur pada Pasal 310. Kondisi demikian ini, di satu sisi menunjukkan adanya kelemahan dari para aparat penegak hukum, khususnya kepolisian dalam memahami makna cyberbullying.
Kedua, dari segi sarana, tidak memungkinkan untuk melakukan penelusuran secara elektronik. Hal ini mengingat, sebagaimana didasarkan pada kasus yang pernah penulis dampingi, bahwa pada tingkat kepolisian resort, tidak mempunyai sumber daya manusia maupun peralatan yang memadai untuk melakukan penelusuran pelaku cyberbullying. Polisi beranggapan bahwa, ketika mendasarkan pada UU ITE, maka proses penyidikan, harus pula dilakukan dengan memanfaatkan teknologi.
Ketiga, dari aspek sosiologis, masih memunculkan adanya skala prioritas yang didasarkan pada subyek korban. Apabila korban bukan merupakan public figure atau orang yang berpengaruh, seperti artis, atau pejabat negara, maka proses penindakkannya akan berlarut larut.
Hal ini mengingat, bahwa proses penegakkan hukumnya dilakukan secara konvensional. Kondisi demikian ini, dibuktikan pula dengan kasus yang pernah penulis dampingi, yaitu ketika korban bukan merupakan public figure. Fakta demikian ini, sesungguhnya juga merupakan bagian dari keterangan pihak kepolisian, sehingga penegakkan hukum cyberbullying justru tidak pernah terselesaikan dengan ideal.