Equality before the law. Siapa yang tidak pernah mendengar pernyataan tersebut ? Hampir setiap orang yang terjun di dunia hukum, pasti mengetahui makna dari pernyataan satu itu. Equality before the law atau dalam Bahasa Indonesia berarti persamaan di hadapan hukum, merupakan salah satu asas yang diatur dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), yang menyatakan bahwa; “Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Asas yang dikenal sebagai kaca mata hukum dalam memandang setiap subjeknya tersebut merupakan simbol utama keadilan bagi kehidupan masyarakat hukum, terutama di Indonesia yang termasuk ke dalam negara multikultural.
Dalam implementasinya, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) selaku lembaga yang menjunjung tinggi derajat dan martabat manusia, menetapkan sebuah Standar Norma dan Pengaturan Nomor 1 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis (SNP No 1) pada tanggal 28 September 2020. KOMNAS HAM menilai bahwa tindakan dan kebijakan diskriminasi, khususnya pada ras dan etnis, telah hidup di Indonesia sejak masa sebelum kemerdekaan, dimana eksistensinya berdampak pada aspek keturunan, pekerjaan, dan pendidikan. Tertulis dalam SNP tersebut, perbedaan terjadi saat seseorang atau suatu kelompok mendapat perlakuan berbeda pada keadaan atau posisi yang sama. Namun pembedaan yang berupa afirmasi bukanlah suatu diskriminasi.
Selain itu, asas equality before the law ini juga kerap disandingkan dengan asas hukum lain, yaitu asas presumption of innocent atau dalam Bahasa Indonesianya, asas praduga tak bersalah. Asas tersebut diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) butir ketiga huruf c, yang berbunyi; “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Lalu dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman), asas praduga tak bersalah dapat ditemukan pada Pasal 8 ayat (1); “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Dalam hal tersangka, Yahya Harahap, ahli Hukum Pidana, menilai bahwa seorang tersangka harus ditempatkan pada kedudukan manusia yang memiliki hakikat martabat. Dia harus dinilai sebagai subjek, bukan objek. Yang diperiksa bukan manusia tersangka, melainkan perbuatan tindak pidana yang dilakukannyalah yang menjadi objek pemeriksaan. Ke arah kesalahan tindak pidana yang dilakukan pemeriksaan ditujukan. Tersangka harus dianggap tidak bersalah, sesuai dengan asas praduga tak bersalah sampai diperoleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap. Lagi pula, sejatinya hukum bukanlah sekedar alat untuk menghakimi seseorang yang bersalah, tetapi juga melindungi hak-hak dan kewajiban yang pada dasarnya melekat dalam diri setiap orang tanpa terkecuali.
Namun meskipun asas-asas tersebut sudah diatur dalam Undang-Undang yang juga telah diresmikan, pada realitanya, diskriminasi terhadap kelompok masyarakat tertentu masih menjadi rahasia umum kehidupan hukum di Indonesia. Kelompok-kelompok minoritas maupun kelompok masyarakat yang telah dikotak-kotakkan tersendiri oleh kelompok masyarakat lainnya, sering kali terbengkalai dari kacamata hukum yang sesungguhnya. Tidak peduli bagaimana lembaga masyarakat lain yang memperjuangkan kesetaraan bagi tiap umat manusia, perlakuan seperti ini sudah menjadi hal yang biasa, bahkan oleh aparat penegak hukum itu sendiri. Prinsip kesetaraan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1 Universal Declaration of Human Rights (UDHR) sebagai berikut: “All human beings are born free and equal in dignity and rights. They are endowed with reason and conscience and should act towards one another in a spirit of brotherhood.” Hal ini berarti bahwa dalam kehidupan individu maupun kehidupan sosialnya setiap orang mempunyai kedudukan yang setara satu dengan yang lain.
Seperti halnya kasus yang dialami seorang tersangka penistaan agama pada tahun 2018 berinisial M yang dijatuhkan pidana penjara selama 18 bulan atas dakwaan Pasal 156 huruf a KUHP tentang Permusuhan, Penyalahgunaan atau Penodaan Agama di Pengadilan Negeri Medan, Sumatera Utara. Berawal dari keluhan yang diutarakan oleh M, seorang warga minoritas dari segi etnis maupun agama, kepada warga pemilik warung kopi lantaran volume yang dikeluarkan dari pengeras suara Adzan saat itu terdengar lebih keras dari biasanya. Hal tersebut menyulut kemarahan warga sekitar dan berakhirlah M didakwa dengan Pasal aquo yang berbunyi, “dengan sengaja melakukan penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia”. Akibat perbuatannya, rumah milik M sempat dilempari batu dan api. Namun kejadian yang dialami oleh M tersebut tidak dimasukkan ke dalam ratio decidendi Hakim dalam memutus perkara M. Dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Human Rights Working Group (HRWG), dan SETARA, menyimpulkan bahwa kasus tersebut mencerminkan tindakan diskriminasi hukum terhadap kaum minoritas di Indonesia.
Mengingat teori justice as a fairness, dari John Rawls, keseteraan seharusnya menjadi milik setiap orang. Tidak hanya kesetaraan dalam kehidupan sosial, tetapi juga kesetaraan dalam kesempatan untuk kejujuran, dan penghapusan terhadap ketidaksetaraan berdasarkan kelahiran dan kekayaan. Justice – berarti keadilan, merupakan salah satu produk yang seharusnya dihasilkan oleh hukum. Namun kini seolah-olah hanya diraskaan oleh beberapa oknum saja.
Berdasarkan uraian diatas, dinilai kacamata hukum di Indonesia dalam menjalankan tugas, pokok dan fungsinya dapat dikatakan minus. Buram. Tidak dapat melihat dengan jernih. Seolah-olah terpaku pada kotak-kotak tertentu yang diciptakan oleh masyarakat. Padahal seharusnya masyarakatlah yang berada di dalam jangkauan hukum, terlepas dari masyarakat sendirilah yang menciptakan sistem hukum tersebut. Namun proses eksekusinya harus berada di dalam ketentuan yang sudah diatur di Undang-Undang, bukan berdasarkan siapa yang dieksekusi, melainkan apa perbuatannya, alasan dilakukannya perbuatan tersebut dan dampak dari perbuatan yang dilakukannya.
Menilik Minusnya Kacamata Hukum di Indonesia
Leave a comment