Dalam kasus lain seorang artis wanita yang melanggar hukum tidak dipenjarakan dengan alasan memiliki bayi, sementara hal yang sama terjadi pada masyarakat jelata, namun tetap dipenjara dengan bayi-bayinya sekaligus. Ini adalah sebagian potret ketidak adilan yang dipertontonkan di negeri kita yang tercinta ini.
Oleh karenanya, saya selaku penulis menawarkan solusi yaitu kita depak simbol keadilan Dewi Themis tersebut, karena tidak hanya mengandung kekufuran juga simbol falsafah tersebut jugalah yang menggambarkan penegak hukum di negeri ini dalam memutuskan hukum. Selain itu, Indonesia yang merupakan negara yang menganut Ketuhanan Yang Maha Esa juga sangat tidak cocok apabila menjadikan simbol Dewi Themis tersebut sebagai simbol keadilan di negeri ini.
Karena yang cocok diterapkan di negeri ini adalah simbol keadilan yang sesuai dengan karakteristik bangsa Indonesia sebagai bangsa Ketuhanan sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 29 A UUD 1945 bahwa Indonesia adalah negeri atau bangsa yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Lantas simbol keadilan sudah saatnya kita ganti dengan neraca timbangan dan kitab suci Tuhan Yang Maha Esa. Karena pada sejatinya keadilan mutlak hanya milik Tuhan Yang Maha Esa semata.
Hal ini juga di dukung oleh ungkapan Friedmann bahwa ketika kita dengan berbagai cara menegakkan keadilan namun mengesampingkan unsur teologis didalamnya, maka hal itu akan sia-sia belaka. Oleh karenanya sudah saatnya kita kembali kepada jati diri kita sebagai bangsa yang berketuhanan untuk tidak saja memperhatikan legal justice semata, namun yang terpenting adalah memperhatikan moral justice karena ketika moral justice yang ditegakkan, secara otomatis keadilan yang hakiki akan tegak dengan sendirinya. Menjadi bangsa yang adil dan beradab bukanlah sebuah angan-angan belaka apabila unsur teologis benar-benar diperhatikan terutama unsur teologis masyarakat mayoritas di Indonesia saat ini. Semoga kita semua senantiasa dapat menegakan kebajikan dan keadilan di bumi Indonesia yang kita cintai ini.